22. Imsak Yang Bukan Puasa
MARHABAN YA RAMADHAN
2 Ramadhan 1442 H - 14 April 2021
Di samping penggunaan istilah imsak yang dimaknai sebagai ibadah puasa, adapula penggunaan istilah imsak yang dimaknai secara bahasa yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, namun tidak terhitung sebagai ibadah puasa.
Di mana imsak jenis ini, secara khusus disyariatkan sebagai kaffarat atau penghapus kesalahan yang dilakukan di hari bulan Ramadhan, dimana seseorang tidak berpuasa pada hari tersebut.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya Raudhah ath-Thalibin wa Umdah al-Muftiyyin:(1)
فِي الْإِمْسَاكِ تَشَبُّهًا بِالصَّائِمِينَ: وَهُوَ مِنْ خَوَاصِّ رَمَضَانَ، كَالْكَفَّارَةِ، فَلَا إِمْسَاكَ عَلَى مُتَعَدٍّ بِالْفِطْرِ فِي نَذْرٍ أَوْ قَضَاءٍ. ثُمَّ مَنْ أَمْسَكَ تَشَبُّهًا، لَيْسَ فِي صَوْمٍ، بِخِلَافِ الْمُحْرِمِ إِذَا أَفْسَدَ إِحْرَامَهُ، وَيَظْهَرُ أَثَرُهُ فِي أَنَّ الْمُحْرِمَ لَوِ ارْتَكَبَ مَحْظُورًا، لَزِمَهُ الْفِدْيَةُ، وَلَوِ ارْتَكَبَ الْمُمْسِكُ مَحْظُورًا، لَا شَيْءَ عَلَيْهِ سِوَى الْإِثْمِ. ثُمَّ الْإِمْسَاكُ يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُتَعَدٍّ بِالْفِطْرِ فِي رَمَضَانَ.
Imsak atau berpuasa yang menyerupai orang-orang yang berpuasa sebenarnya: Ketentuan ini merupakan kekhususan puasa Ramadhan, selayaknya suatu kaffarat. Di mana tidak ada imsak atas pelanggaran batalnya puasa seseorang dari puasa nadzar atau qodho’. Selain itu, orang yang berimsak tidaklah sedang berpuasa. Hal ini berbeda dengan orang yang melakukan ihram (haji atau umrah) dan merusak ihramnya (dengan melakukan pelanggaran saat ihram seperti mencabut rambut). Sebab orang yang melakukan pelanggaran ihram saat ia masih berihram, wajib atasnya membayar fidyah. Sedangkan orang yang melakukan imsak karena melanggar ketentuan puasa, tidak ada kewajiban apapun atasnya kecuali dosa (yang dihapus dengan imsak tersebut). Karenanya, imsak diwajibkan atas sebab pelanggaran yang membuat seseorang tidak sah berpuasa pada bulan Ramadhan.
Dari sisi hukum, imsak yang bukan dikatagorikan ibadah puasa Ramadhan, terbagi menjadi dua, yaitu imsak yang wajib dan imsak yang sunnah.
A. Imsak Yang Wajib
Imsak yang tidak dikatagorikan ibadah puasa, namun dihukumi wajib, berlaku pada dua kasus berikut ini:
1. Terjadinya kekeliruan dalam pelaksanaan ibadah puasa. Di mana kasus ini dapat dibedakan menjadi 4 kondisi:
a. Keliru dalam mengira awal Ramadhan. Seperti jika sudah berada di tanggal 29 Sya’ban. Lalu ragu, apakah pada hari esoknya sudah memasuki tanggal 1 Ramadhan atau masih di tanggal 30 Sya’ban. Lantas esok harinya tidak berpuasa, namun ternyata sudah memasuki awal Ramadhan.
b. Keliru dalam mengira akhir Ramadhan. Seperti jika sudah berada di tanggal 29 Ramadhan. Lalu ragu, apakah pada hari esoknya sudah memasuki tanggal 1 Syawwal atau masih di tanggal 30 Ramadhan. Lantas esok harinya tidak berpuasa, namun ternyata masih di tanggal 30 Ramadhan.
c. Keliru dalam mengira waktu fajar. Seperti jika masih menganggap bahwa waktu fajar belum masuk, lantas tetap melanjutkan makan sahur. Namun ternyata saat makan sahur tadi dilakukan, rupanya telah memasuki waktu fajar sebagai waktu dimulainya ibadah puasa.
d. Keliru dalam mengira waktu maghrib. Seperti jika menganggap bahwa waktu maghrib sebagai waktu berbuka puasa telah masuk, lantas melakukan ifthor. Namun ternyata saat ifthor itu dilakukan, rupanya waktu maghrib belum masuk.
2. Kesengajaan membatalkan ibadah puasa yang sudah dilakukan tanpa uzur syar’i.
---
Inilah 2 kondisi wajibnya melakukan imsak, meskipun tetap wajib mengqodho’ puasa di hari imsak tersebut. Namun yang berbeda dari kedua kondisi tersebut adalah bahwa imsak yang diwajibkan atas sebab kekeliruan tidaklah berakibat dosa. Namun dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan kepada bulan Ramdhan dengan cara menyerupai orang yang sedang berpuasa.
Sedangkan imsak yang dilakukan karena kesengajaan membatalkan puasa yang sudah dilakukan tanpa uzur syar’i, maka dimaksudkan sebagai kaffarat atau penghapusan dosa dan sekaligus untuk menghormati bulan Ramadhan.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, terkait wajibnya imsak atas orang yang sengaja membatalkan puasanya:(2)
إذَا أَبْطَلَ الصَّوْمَ بِالْأَكْلِ أَوْ غَيْرِهِ صَارَ خَارِجًا مِنْهُ ... يَجِبُ عَلَيْهِ إمْسَاكُ بَقِيَّةِ النَّهَارِ.
Jika seseorang membatalkan puasanya dengan makan atau selainnya, maka ia telah keluar dari ibadah puasanya ... wajib atasnya melakukan imsak pada sisa hari dari waktu puasa.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, terkait wajibnya qodho’ atas kekeliruan dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan:(3)
إذَا أَكَلَ أَوْ شَرِبَ أَوْ جَامَعَ ظَانًّا غُرُوبَ الشَّمْسِ أَوْ عَدَمَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَبَانَ خِلَافُهُ فَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ عَلَيْهِ الْقَضَاءَ.
Jika seseorang makan, minum atau berhubunagan seksual dengan mengira bahwa matahari telah terbenam atau fajar belum terbit, namun ternyata apa yang dikira itu keliru, maka wajiblah atasnya mengqodho’ puasa hari tersebut.
Ketentuan wajibnya imsak dan qodho’ dalam dua kasus di atas, didasarkan kepada hadits-hadits berikut:
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، قَالَتْ: «أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ» قِيلَ لِهِشَامٍ: فَأُمِرُوا بِالقَضَاءِ؟ قَالَ: «لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ» وَقَالَ مَعْمَرٌ: سَمِعْتُ هِشَامًا لاَ أَدْرِي أَقَضَوْا أَمْ لاَ (رواه البخاري)
Dari Hisyam bin Urwah, dari Fathimah, dari Asma' binti Abu Bakar ash-Shiddiq - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari tampak kembali, maka orang-orang diperintahkan untuk mengqodho’nya, dan Beliau bersabda: “Harus dilaksanakan qodho’”. Dan Ma'mar berkata: aku mendengar [Hisyam]: Aku tidak tahu apakah mereka kemudian mengqodho’nya atau tidak.” (HR. Bukhari)
عَنْ خَالِدِ بْنِ أَسْلَمَ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ فِي يَوْمٍ ذِي غَيْمٍ وَرَأَى أَنَّهُ قَدْ أَمْسَى وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، قَدْ طَلَعَتِ الشَّمْسُ. فَقَالَ عُمَرُ: الْخَطْبُ يَسِيرٌ، وَقَدِ اجْتَهَدْنَا. قَالَ الشَّافِعِيُّ: يَعْنِي قَضَاءَ يَوْمٍ مَكَانَهُ (رواه مالك والشافعى فى الأم والبيهقى)
Dari Khalid bin Aslam: Bahwa Umar bin al-Khatthab telah membatalkan puasanya pada hari yang mendung. Di mana ia mengira bahwa matahari telah terbenam (waktu maghrib). Namun tiba-tiba ada seseorang yang datang dan berkata: Wahai amirul mu’mini, matahari masih tampak (belum terbenam). Lantas Umar berkata: Kesalahan yang ringan, dimana kita telah berijtihad. Asy-Syafi’i mengomentari perkataan Umar ini dan berkata: maksudnya puasa pada hari tersebut diqodho’. (HR. Malik, asy-Syafi’i dalam al-Umm dan Baihaqi)
Catatan: Salah Berbeda Dengan Lupa
Hanya saja, patut dibedakan antara kasus salah duga ini dengan kasus orang yang lupa. Dalam kasus orang yang makan dan minum di siang hari karena seba lupa, maka tidak dianggap sebagai sesuatu yang membatalkan puasa. Namun begitu dia ingat bahwa dirinya sedang berpuasa, tentu dia tetap wajib berimsak dan meneruskan puasanya. Dan tidak ada kewajiban atasnya untuk mengqodho’ puasanya, karena puasanya masih dianggap sah.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ» (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Siapa saja yang makan karena lupa, padahal ia sedang berpuasa, maka hendanya ia melanjutkan puasanya, karenanya sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Bukhari Muslim)
B. Imsak Yang Sunnah
Sedangkan yang dimaksud dengan imsak yang sunnah dan tidak wajib adalah orang yang memang sejak awal fajar tidak diwajibkan atasnya untuk berpuasa karena suatu uzur. Namun sebelum matahari terbenam, uzur tersebut kemudian hilang dari dirinya. Maka dalam kondisi ini, dianjurkan atasnya untuk melakukan imsak, meskipun tidak sampai wajib.
Adapun kasus-kasus imsak yang sunnah dan tidak wajib ini meliputi hal-hal berikut:
1. Wanita haid atau nifas yang mendapati kesucian sebelum maghrib.
2. Musafir yang dari sejak fajar tidak berpuasa, lalu hilang status musafirnya sebelum maghrib.
3. Orang sakit yang dari sejak fajar tidak berpuasa, lalu mendapati kesembuhan sebelum maghrib.
4. Anak kecil yang belum barumur baligh dan tidak berpuasa dari sejak fajar, lalu menjadi baligh sebelum maghrib.
5. Orang gila temporer yang dalam kondisi gila sejak fajar, lalu mendapati kesembuhan dan menjadi waras sebelum maghrib.
6. Orang kafir yang masuk Islam sebelum maghrib.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(4)
أَنَّ الْمَجْنُونَ إذَا أَفَاقَ فِي أَثْنَاءِ نَهَارِ رَمَضَانَ وَالْكَافِرَ إذَا أَسْلَمَ فِيهِ وَالصَّبِيَّ إذَا بَلَغَ فِيهِ مُفْطِرًا اُسْتُحِبَّ لَهُمْ إمْسَاكُ بَقِيَّتِهِ وَلَا يَجِبُ ذَلِكَ ... إذَا طَهُرَتْ فِي أَثْنَاءِ النَّهَارِ يُسْتَحَبُّ لَهَا إمْسَاكُ بَقِيَّتِهِ وَلَا يَلْزَمُهَا.
Orang gila yang waras di siang Ramadhan, begitu pula orang kafir yang masuk Islam dan anak kecil yang berumur baligh dalam kondisi tidak berpuasa, dianjurkan bagi mereka untuk melakukan imsak, namun tidak wajib. … Jika mendapati kondisi suci di tengah siang, maka dianjurkan atasnya melakukan imsak di sisa hari yang ada, namun tidak sampai wajib.
---------------
(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, hlm. 2/367.
(2) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/297.
(3) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/309.
(4) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/256-257.
Silahkan baca juga artikel kajian islam tentang puasa berikut :
- Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
- Sejarah Pensyariatan Puasa
- Keutamaan Ibadah Puasa
- Jenis-jenis Puasa
- Keistimewaan Bulan Ramadhan
- Hukum Puasa Bulan Sya'ban
- Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
- Hukum Puasa Ramadhan
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
- Rukun Puasa Ramadhan : Niat
- Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
- Imsak Yang Bukan Puasa
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
13 April 2021·