Rukun Puasa Ramadhan : Imsak

Rukun Puasa Ramadhan : Imsak - Kajian Islam Tarakan

21. Rukun Puasa Ramadhan : Imsak

MARHABAN YAA RAMADHAN

1 Ramadhan 1442 H - 13 April 2021

Rukun dalam suatu ibadah merupakan salah satu di antara dua sebab sahnya suatu ibadah, selain syarat sah. Di mana perbedaan antara rukun dan syarat sah adalah bahwa syarat sah bukanlah bagian dari ritual ibadah puasa, sedangkan rukun termasuk bagian dari ritual ibadah puasa.

Menurut para ulama, setidaknya dalam ibadah puasa terdapat dua rukun yang menjadi inti ibadah, dimana tanpa kedua rukun itu, maka puasa menjadi tidak sah dilakukan sekaligus belum menggugurkan kewajiban atasnya. Dua rukun puasa itu adalah: (1) niat, dan (2) imsak. 

Para ulama sepakat bahwa rukun puasa yang kedua adalah imsak (إمساك), yaitu menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa, sejak dari terbitnya fajar hingga masuknya waktu malam, yang ditandai dengan terbenamnya matahari. Batasan ini telah ditegaskan Allah - ta’ala - di dalam al-Quran: 

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ (البقرة: 187)

Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam. (QS. Al-Baqarah: 187) 

Makna ungkapan benang putih adalah putihnya siang dan benang hitam adalah hitamnya malam. Dan yang dimaksud dengan hal itu tidak lain adalah terbitnya fajar dan terbenamnya matahari.

A. Makna Imsak

Kata imsak secara bahasa mempunyai banyak makna. Di antara maknanya sebagaimana digunakan dalam al-Quran adalah memenjarakan seseorang pada suatu tempat (QS. An-Nisa’: 15), menangkap (QS. Al-Maidah: 4), menahan harta untuk tidak dibelanjakan (QS. Al-Isra’: 100), menahan beban suatu benda (QS. Fathir: 41), dan masih banyak lagi makna-makna lainnya. 

Sedangkan makna imsak secara fiqih puasa adalah:(1) 

الْكَفُّ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ وَالاِمْتِنَاعُ عَنِ الأْكْل وَالشُّرْبِ وَالْجِمَاعِ.

Menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dan menahan dari makan, minum dan jima’.

Jadi imsak pada dasarnya adalah menahan atau tidak melakukan segala hal yang dapat membatalkan puasa. Dan di antara hal-hal yang membatalkan puasa itu secara pokok adalah makan, minum, dan berhubungan suami istri.

Namun istilah 'imsak' yang sangat populer di negeri kita ini, sebenarnya merupakan istilah yang dipahami secara kurang tepat, baik secara pemahaman istilah atau pun secara hukum. Di mana, istilah imsak digunakan untuk memulai berpuasa beberapa menit sebelum terbitnya fajar.

Padahal istilah yang lebih tepat digunakan bukanlah imsak, namun ihtiyath (إحتياط) yang bermakna mengambil kehati-hatian. Atau kalaupun tetap menggunakan istilah imsak, maka bisa dianggap imsak yang bukan puasa (imsak lughowi).

B. Batas Waktu Imsak Puasa

a) Mulai Puasa: Terbit Fajar Shodiq

Para ulama sepakat bahwa batas masuk waktu untuk imsak puasa adalah saat terbit fajar shodiq. Di mana waktu ini, biasanya ditandai dengan dikumandangkannya adzan untuk shalat shubuh.

Namun perlu dicatat, bahwa yang dimaksud waktu terbit fajar shodiq bukanlah waktu terbitnya matahari. Dan juga bukan fajar kadzib. 

Sebab waktu terbit matahari adalah batas akhir bolehnya dilakukan shalat shubuh secara ada’. Padahal, puasa sudah wajib dilakukan saat adzan shalat shubuh berkumandang. 

Sebagaimana puasa belum wajib untuk dilakukan saat fajar kadzib muncul. Maka dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa waktu fajar terbagi menjadi dua jenis: fajar shodiq dan fajar kadzib. 

Fajar kadzib (الفجر الكاذب) adalah fajar yang 'bohong' sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah langit. Bentuknya seperti ekor serigala, kemudian langit menjadi gelap kembali. Cahaya ini sebenarnya juga berasal dari cahaya matahari yang tiba di paras Bumi. Namun tidak muncul oleh sebab matahari itu sendiri yang akan terbit. Namun mncul karena dipantulkan oleh debu–debu antar planet berskala mikro yang bertebaran di mana–mana di penjuru Tata Surya. Istilah lain untuk menyebut fajar kadzib ini adalah fajar semu. Dan cahayanya disebut dengan cahaya zodiak (zodiacal light).

Fajar Shodiq (الفجر الصادق): Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shodiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar, yang berupa cahaya putih agak terang, menyebar di ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shubuh. Dan tanda dari mulainya melakukan imsak puasa. Istilah lain untuk menyebut fajar shodiq ini adalah fajar nyata. Dan cahayanya disebut dengan cahaya fajar (eastern twilight).

Ketentuan shalat dan puasa yang terkait dengan dua jenis fajar ini, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، قَالَ: «الْفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِي يَكُونُ كَذَنَبِ السَّرْحَانِ فَلَا تَحِلُّ الصَّلَاةُ فِيهِ وَلَا يَحْرُمُ الطَّعَامُ، وَأَمَّا الَّذِي يَذْهَبُ مُسْتَطِيلًا فِي الْأُفُقِ فَإِنَّهُ يُحِلُّ الصَّلَاةَ، وَيُحَرِّمُ الطَّعَامَ» (رواه البيهقي والحاكم)

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Fajar itu ada dua macam. Adapun fajar yang seperti ekor srigala, maka diharamkan saat itu mengerjakan shalat dan dihalalkan untuk makan. Sedangkan fajar yang memanjang di ufuk, maka membolehkan untuk shalat dan mengharamkan makan.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Hakim)

Maksud dari fajar yang menghalalkan makan dan mengharamkan shalat adalah fajar kadzib. Di mana, saat fajar ini muncul, makan sahur tetap dibolehkan dan shalat shubuh belum dibolehkan untuk dilakukan.

Sedangkan maksud dari fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat adalah fajar shodiq. Di mana, saat fajar ini muncul, ibadah puasa sudah mulai dilakukan dan diharamkan untuk terus makan sahur. Dan shalat shubuh sudah bisa untuk dilaksanakan.

b) Bolehkah Terus Makan & Minum Saat Terdengar Adzan Shubuh?

Dalam beberapa hadits, terdapat penjelasan bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - membolehkan seseorang yang sedang makan untuk meneruskan makannya sekalipun adzan berkumandang. 

Hadits-hadits tersebut sebagaimana berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعُهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ» (رواه أحمد وأبو داود والحاكم)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu mendengar adzan sedangkan ia masih memegang piring (makan) maka janganlah ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya (makannya).” (HR.  Ahmad, Abu Dawud dan Hakim)

عن أبي أمامة - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قال: أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ. قَالَ: أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ: نَعَمْ. فَشَرِبَهَا. (رواه ابن جرير في تفسيره)

Dari Abu Umamah - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin Khaththab) - radhiyallahu ‘anhu -.  Dia bertanya kepada Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -: Apakah aku boleh meminumnya?.”  Beliau menjawab: “Boleh.”  Maka Umar pun meminumnya.” (HR. Ibnu Jarir dalam Tafsirnya)

Terkait masalah santap sahur di saat adzan dikumandangkan dan pemahaman terhadap hadits di atas, setidaknya terdapat dua pendapat:

Mazhab Pertama: Masih boleh meneruskan makan sahur.

Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) berpendapat bahwa boleh saja seseorang meneruskan sahurnya sekalipun adzan shubuh berkumandang. Dalam hal ini beliau berargumentasi dengan zhahir hadits di atas.

Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) berkata dalam kitabnya, Tamam al-Minnah fi at-Ta’liq ‘ala Fiqh as-Sunnah:(2) 

قوله تحت هذا العنوان: " ... فإذا طلع الفجر وفي فمه طعام وجب عليه أن يلفظه ... ". قلت: هذا تقليد لبعض الكتب الفقهية وهو مما لا دليل عليه في السنة المحمدية بل هو مخالف لقوله صلى الله عليه وسلم: "إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه". (أخرجه أحمد وأبو داود والحاكم وصححه هو والذهبي)  ... وفيه دليل على أن من طلع عليه الفجر وإناء الطعام أو الشراب على يده أنه يجوز له أن لا يضعه حتى يأخذ حاجته منه.

Perkataannya, “Jika fajar telah terbit dan di mulutnya ada makanan, maka wajiblah ia membuangnya …”. Aku berkata (al-Albani): Perkataan ini merupakan taqlid kepada sebagian kitab fiqih yang tidak berdasarkan kepada dalil dari sunnah, bahkan menyelisihi sabd Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -: “Jika salah seorang di antara kamu mendengar adzan sedangkan ia masih memegang piring (makan) maka janganlah ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya (makannya).” (HR.  Ahmad, Abu Dawud, Hakim). Di mana hadits ini merupakan dalil bahwa jika fajar telah terbit dan di tangannya terdapat makanan atau minuman, boleh baginya untuk menyelesaikan hajatnya.

Mazhab Kedua: Haram meneruskan makan sahur.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak dibenarkan untuk makan sahur jika adzan shubuh berkumandang. Dengan demikian jika adzan shubuh berkumandang yang juga menandakan terbitnya fajar sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh berpuasa. Namun jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya. Bahkan imam an-Nawawi menyatakan bahwa pendapat ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama (ijma’). 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(3)

أَنَّ مَنْ طَلَعَ الْفَجْرُ وَفِي فِيهِ طَعَامٌ فَلْيَلْفِظْهُ وَيُتِمَّ صَوْمُهُ فَإِنْ ابْتَلَعَهُ بَعْدَ عِلْمِهِ بِالْفَجْرِ بَطَلَ صَوْمُهُ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ. 

وَدَلِيلُهُ حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ وَعَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: أَنَّ بِلاَلاً كاَنَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقاَلَ رَسُولُ اللهِ: كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتىَّ يُؤَذِّنَ بْنُ أُمِّ مَكْتُوْم فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتىَّ يَطْلَعَ الفَجْرُ (رواه البخاري)

Imam an-Nawawi berkata: Bahwa siapapun yang mendapati terbit fajar dan di mulutnya terdapat makanan, maka hendaknya dimuntahkan dan menyempurnakan puasanya. Dan jika tetap ditelan setelah tahu bahwa fajar terbit, maka batallah puasanya. Dan dalam hal ini tidak terdapat perbedaan pendapat.

Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar dan Aisyah, bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Bahwa Bilal adzan pada waktu malam. Lantas Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan kecuali setelah terbitnya fajar (shodiq). (HR. Bukhari)

Terkait adzan yang dimaksud oleh hadits yang menjadi dasar pendapat yang membolehkan, dipahami oleh jumhur ulama bukanlah adzan shubuh yang menandakan masuknya waktu untuk melaksanakan shalat shubuh, melainkan adzan yang dikumandangkan dalam rangka untuk membangunkan orang untuk shalat malam atau untuk makan sahur. 

Sebab adzan pada masa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam -, dikumandangkan dua kali. Adzan pertama dikumandangkan oleh Bilal, waktunya beberapa saat sebelum terbit fajar shodiq. Dan adzan kedua dikumandangkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum, waktunya adalah ketika fajar telah terbit, yang juga merupakan adzan untuk dimulainya puasa dan masuknya waktu untuk shalat shubuh. 

Di samping itu, jumhur ulama juga berargumentasi bahwa hadits makannya shahabat saat adzan, tidak sama sekali menyebut tentang puasa. Yang ada hanya ketika wadah makanan atau minuman ada di tangan, lalu terdengar panggilan shalat. Itu saja tidak lebih. Lalu Umar bertanya, apakah masih boleh minum, lalu Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - membolehkan.

Bisa saja konteksnya bukan sedang makan sahur, tetapi sedang menyantap hidangan di luar puasa. Dan ketika terdengar suara adzan, apakah harus segera shalat dan meninggalkan tempat makan, ataukah boleh diteruskan makannya. Dan jawabannya adalah silahkan diteruskan makan dan minumnya sampai tuntas, barulah kemudian mendatangi shalat berjamaah. Di samping adzan yang dimaksud juga tidak disebutkan secara spesifik terkait shalat tertentu. Tidak ada penjelasan bahwa adzan itu adalah adzan untuk shalat shubuh. Jadi bisa saja adzan itu untuk shalat selain shubuh, seperti shalat Maghrib, Isya’ atau shalat-shalat yang lain. 

------------------------

(1) Muhammad bin Ahmad ad-Dusuqi, Hasyiah ad-Dusuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, (t.t: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 4/245.

(2) Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani, Tamam al-Minnah fi at-Ta’liq ‘ala Fiqh as-Sunnah, (t.t: Dar ar-Royah, t.th), hlm. 417.

(3) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, hlm. 6/312.

Silahkan baca juga artikel kajian islam tentang puasa berikut :

  1. Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
  2. Sejarah Pensyariatan Puasa
  3. Keutamaan Ibadah Puasa
  4. Jenis-jenis Puasa
  5. Keistimewaan Bulan Ramadhan
  6. Hukum Puasa Bulan Sya'ban
  7. Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
  8. Hukum Puasa Ramadhan
  9. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
  10. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
  11. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
  12. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
  13. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
  14. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
  15. Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  16. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
  17. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
  18. Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
  19. Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
  20. Rukun Puasa Ramadhan : Niat
  21. Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
  22. Imsak Yang Bukan Puasa

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

12 April 2021· 

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Rukun Puasa Ramadhan : Imsak". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait