Pasti damai pilihannya. Sebab perang itu menyakitkan. Dan tidak ada kamusnya perang itu menghasilkan kemenangan. Hasil dari semua perang itu hanya kekalahan di kedua belah pihak.
Satu-satunya perang yang bisa membuat kedua-belah pihak memang alias win-win adalah berdamai. Dan damai itu kebalikan dari perang.
Maka meski sempat lima tahun terlibat perang tiada habisnya, antara Nabi SAW di Madinah dengan pihak musyrikin di Mekkah, ujung-ujungnya damai juga. Di tahun keenam Hijriyah, terjadilah Perjanjian Hudaibiyah.
Disitulah terjadi kemenangan di pihak muslimin dan juga kaum musyrikin sekaligus. Walaupun diawali dengan kontroversi yang cukup hangat di pihak muslimin.
Banyak yang tidak terima kalau Nabi SAW menerima begitu saja semua syarat yang diajukan pihak Suhail bin Amr yang mewakili pihak musyrikin Mekkah.
Kayaknya kok umat Islam itu lemah, keok, loyo dan mati kutu. Beda jauh dengan posisi musyrikin Mekkah yang nampak di atas angin dan gagah perkasa.
Namun justru di balik semua itu ada strategi ulung jangka panjang di kepala Rasulullah SAW. Hanya shahabat senior saja yang paham taktik macam itu.
Kalau junior-junior ukuran anak muda khususnya yang belum pernah ikut perang betulan, pasti ngamuk-ngamuk menerima Perjanjian Hudaibiyah. Soalnya sekilas isi perjanjian damai itu timpang banget dan merugikan kaum muslimin.
Padahal sebenarnya perjanjian itu justru sangat menguntungkan, kalau logika perangnya diganti menjadi logika dakwah.
Logika dakwah? Bukankah perang itu dakwah juga?
Benar sih perang itu bagian dari dakwah. Tapi dakwah itu ada banyak pendekatannya. Perang hanya salah satunya. Jangan dikira dakwah itu perang dan perang itu dakwah. Keliru besar namanya.
Logika dakwah bisa saja 180 derajat terbalik dari logika perang. Logika perang adalah membunuh lawan, setidaknya melukai, merampas hartanya, terutama menjungkir-balikkan kesombongan mereka menjadi kehinaan.
Itu karakteristik dan logika perang sebagaimana dikutip Al-Quran :
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوا أَعِزَّةَ أَهْلِهَا أَذِلَّةً ۖ وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ
Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. (QS. An-Naml : 34)
Sedangkan dakwah Islam tidak mengenal hal-hal semacam itu.
1. Ternyata ketika gencetan senjata, justru para shahabat malah jadi bebas keluar masuk kota Mekkah. Kontak dakwah yang tadinya terputus, setelah damai malah bisa dilanjutkan.
Setelah damai itulah gerakan dakwah justru menjamur di Mekkah dengan terang-terangan tanpa rasa takut terancam.
Asal tahu saya, Khalid bin Walid dan Amr bin Al-Ash justru malah masuk Islam gara-gara sering ikut kajian yang digelar di Mekkah semasa damai.
Kalaupun dalam perjanjian disebutkan bila ada 'pelarian' dari Madinah menyeberang ke Mekkah tidak boleh diekstradisi, maka justru itu jadi kekuatan. Sebab mereka bukan membelot tapi malah jadi juru dakwah yang produktif dan handal di Mekkah.
Dalam perjanjian, kalau ada warga Mekkah yang 'membelot' ke Madinah, harus diekstradisi. Ya sama sekali tidak masalah. Karena bisa dihitung sebagai jalan-jalan liburan ke Madinah untuk beberapa hari terus pulang lagi
Kalau pun tidak boleh menetap di Madinah, tidak apa-apa juga. Toh suasana Mekah justru sangat kondusif untuk dakwah.
2. Sumber Daya Bisa Dialihkan
Sementara damai dengan Mekkah berlangsung, pasukan muslimin bisa dialihkan untuk digunakan mengurus pengkhianatan di dalam Madinah.
Soalnya beberapa kelompok Yahudi ada yang perlu ditumpas habis, macam Yahudi Khaibar yang rada kurang ajar. Perang Khaibar sukses besar. Hasilnya kebun-kebun kurma mereka pindah jadi milik kaum muslimin.
Yahudinya tidak dibunuh, tapi disuruh kerja di ladang bekas milik mereka. Namun hasilnya jadi milik kaum muslimin. Mereka cuma dapat bagi hasilnya saja.
Kalau tidak ada suplay pasukan yang besar karena masih harus ribut melulu dengan Mekkah, boleh jadi Khaibar tidak bisa ditaklukkan.
Jadi ada hikmahnya perjanjian damai Hudaibiyah disepakati. Disitulah anak-anak muda baru mulai paham dan manggut-manggut. Oh gitu maksudnya.
Ya iyalah. Ente kemana aja?
3. Bisa Dakwah Kepada Para Raja
Berdamai dengan Mekkah membuat Nabi SAW bisa konsen dakwah kepada para raja dunia. Namun jangan dikira bahwa Nabi SAW kirim pasukan perang. Tidak begitu caranya.
Nabi SAW cuma kirim satu orang dan tidak perlu pasukan.
Satu orang doang? Serius?
Ya serius satu orang doang. Ya, tidak cuma satu sih, ada beberapa bahkan sampai 15 orang.
Tapi satu orang untuk satu negara dan raja. Kelima belas orang itu membawa surat dari nabi Muhammad SAW untuk raja dan rakyatnya masing-masing.
Surat apa? Nantangin perang?
Ya nggak lah. Ini surat berisi ajakan dakwah. Bukan ajakan perang. Ajakan dakwah yang sangat santun karena sifatnya penawaran. Pilihan yang manapun tidak ada resiko kerugian.
Mau masuk Islam, bagus dan banyak untungnya. Minimal dapat dua pahala. Tapi kalaupun itu raja ogah masuk Islam, juga tidak jadi masalah. Setidaknya kita hidup damai berdampingan jadi sahabat. Posisinya tetap mulia.
Dan memang begitulah hakikatnya. Semua surat Nabi SAW kepada para raja dunia, tak satu pun yang mengancam perang apalagi mau menghinakan mereka.
Ajakan dakwah itu ajakan memeluk Islam kalau bersedia saja. Tapi kalau tidak bersedia, ajakannya adalah hidup damai berdampingan. Simpel dan sederhana.
Makanya respon para raja itu rata-rata positif, senang, suka dan bangga. Mereka merasa sangat tersanjung dengan ajakan itu. Walaupun tidak semua langsung masuk Islam, karena banyak pertimbangan.Tapi its ok, fine no problemo.
Makanya rata-rata ajakan dakwah itu mereka balas dengan mengirimkan sekian banyak hadiah penghargaan dan penghormatan yang harganya teramat mahal dan punya nilai teramat tinggi.
Salah satunya dikirimnya dua budak Mesir bersaudara, Maria dan Sirin, sebagai hadiah buat Nabi SAW, dari Raja Mesir, Muqawqis.
Uniknya, Nabi SAW menerima dengan bahagia kiriman hadiah sang Raja. Maria dinikahinya sendiri sedangkan Sirin dihadiahkan untuk shahabatnya.
Kalau surat Nabi SAW itu berupa ancaman perang, pastilah balasan yang dikirim bukan hadiah dan budak, tapi pasukan tempur yang siap meluluh-lantakkan negeri Arab.
Dan untuk semua hubungan baik itu diperlukan stabilitas negara, stabilitas ekonomi dan kesejahteraan umat. Sesuatu yang mustahil bisa didapat kalau kita perang melulu.
Yah memang sih ada juga surat Nabi SAW yang dirobek-robek dan tidak dihargai. Itulah reaksi Kisra Penguasa Persia. Biarin aja, mungkin dia lagi PMS kali. Hehehe
Maksudnya raja itu lagi cari muka di depan rakyatnya. Biar terkesan gagah kayak pahlawan gitu lah. Namanya juga akting. Kita maklumi saja.
Nabi SAW sendiri santai saja. Toh lebih banyak raja yang menghargai ketimbang yang meributkan suratnya.
Nabi juga tahu kualitas tentara Persia itu rada KW. Cuma memang jumlah saja. Cuma menang bacot saja.
Dan benar saja, begitu perang betulan di zaman Umar, ternyata kerajaan Persia nggak ada apa-apanya. Tentaranya pada letoy-letoy kurang semangat.
Rajanya malah melarikan diri cari selamat sambil ribut bawa perhiasannya.
Istana putih ditinggalkan begitu saja kosong tanpa penghuni. Biasalah, orang kalau sudah lemah dan segera kalah, kadang bacotnya sebakul. Kasihan banget sih tuh raja.
So, titik balik kemenangan dakwah Nabi SAW itu justru dimulai ketika disepakati Perjanjian Hudaibiya. Sebuah perjanjian damai, yang nantinya semua negeri kafir di masa itu berubah menjadi sumber para ulama kelas dunia.
Mesir, Yaman, Syam, Kufah, Bashrah, Baghdad, termasuk juga Mekkah. Dari sanalah empat tahun kemudian cahaya ilmu-ilmu keislaman dipancarkan ke seluruh dunia.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian Islam · 19 Maret 2021 pada 11.58 ·