Klasik dan Kontemporer
Di masa kenabian, luas Madinah itu masih ciut sekali. Konon Madinah di masa itu hanya seluas areal masjid Nabawi hari ini.
Di masa itu, Quba masih berada di luar kota. Waktu Nabi SAW datang ke Madinah hijrah, Beliau malah sempat menginap dulu beberapa hari di Quba.
Sementara para shahabat di Madinah saat itu masih menunggu-nunggu kedatangan Beliau SAW di batas kota. Masih ditunggu karena memang belum tiba di Madinah.
Tapi hari ini, 14 abad kemudian, lokasi Masjid Quba ada di dalam kota Madinah. Tentu hukum-hukum yang terkait dengan kedua tempat itu harus disesuaikan ulang.
Saya coba ukur pakai GPS berapa jarak dari masjid Nabawi ke masjid Quba. Hasilnya bikin kaget, ternyata jaraknya cuma 5,2 km saja. Kalau kita naik mobil cuma butuh waktu 9 menit. Naik taxi kena 10 riyal.
Tapi di masa itu, Quba sudah dianggap luar kota. Seorang yang mau safar sejauh minimal 4 burud, sudah boleh mulai mengqashar shalatnya, asalkan sudah keluar dari kota Madinah. Dan Quba itu hitungannya sudah di luar kota Madinah.
Tapi hari ini, luas kota Madinah sudah bertambah berkali lipat. Sehingga orang yang alamat rumahnya di dekat masjid Quba, hari ini pasti dianggap sebagai penduduk Madinah juga.
Padahal dulunya, Quba dan Madinah adalah dua balad yang berbeda.
Dalam kitab fiqih klasik, kita sering ketemu dua istilah yaitu mustautin dengan muqim.
Di masa lalu, orang yang rumahnya di sekitaran masjid Quba kalau shalat Jumat di Masjid Nabawi maka Jumatan ya sah, tapi keberadaannya dianggap tidak termasuk 40 orang yang mustautin.
Sebab mereka akan dianggap sebagai bukan warga Madinah. Mereka hanya akan berstatus sebagai muqimin sementara saja.
Lalu apa perbedaan antara muqim dengan mustautin?
Mustautin itu penduduk asli alias warga lokal dan akan seterusnya tinggal disitu. Jadi di masa itu penduduk Madinah disebut mustautin.
Tapi penduduk Quba kalau shalat Jumat di Masjid Nabawi, statusnya bukan mustautin tapi muqim. Artinya, orang yang tinggal di Madinah hanya untuk sementara waktu, meski berhari-hari, tapi sifatnya sementara dan tidak akan menetap selamanya.
Dengan kata lain, status orang muqim itu maksudnya adalah pendatang dari luar kota yang berniat untuk menetap sementara saja, yaitu minimal 4 hari.
Hubungannya dengan shalat Jumat, baik mustautin atau muqim sama-sama wajib shalat Jumat. Tapi syarat sah penyelenggaraan shalat Jumat adalah minimal harus terdiri 40 orang yang statusnya mustautin.
Kalau jumlah mustautinnya kurang dari 40 orang, shalat Jumatnya tidak sah. Meski pun secara teknis yang hadir lebih dari 40.
Dengan demikian, keberadaan jamaah yang statusnya cuma muqim dan tidak sampai berstatus mustautin, tidak bisa memenuhi kuota minimal sahnya shalat Jumat.
Di masa lalu, ketika Quba dan Madinah masih dianggap dua kota berbeda, ketentuan ini masih masuk akal untuk diterapkan.
Tapi hari ini, penduduk Quba sudah dianggap sebagai penduduk Madinah juga. Karena Madinahnya bertambah luas sampai bisa melahap kota lain masuk ke dalam wilayahnya.
Disitulah dinamika ilmu fiqih kontemporer dapat peran yang sangat menentukan. Jangan sampai kita kurang update, sehingga masih saja terjebak dengan kondisi di masa lalu, masa dimana kitab turats itu ditulis.
Padahal sejarah sudah berubah. Peta demografi pun ikut berubah. Memahami kitab turats di masa kini menjadi cabang disiplin ilmu tersendiri. Karena setidaknya harus paham perubahan sejarah juga.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian · 25 Maret 2021 pada 16.48 ·