15 Hari Menjelang Ramadhan 1442 H
15 Sya’ban 1442 H – 29 Maret 2021
Puasa Sya’ban adalah puasa yang dilakukan pada bulan ke-8 dari penanggalan Hijriyyah. Bulan ini berada di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan yang Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam – sebutkan sebagaimana bulan yang banyak dilalaikan oleh manusia untuk ibadah.
عَنْ أُسَامَةَ بْنُ زَيْدٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ» (رواه أحمد)
Dari Usamah bin Zaid - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam –: “Itulah bulan (Sya’ban) yang orang-orang banyak yang lalai antara bulan Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan ditampakkannya amalan-amalan, dan aku suka ketika amalanku diperlihatkan dihadapan Rabbku, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ahmad)
Para ulama sepakat bahwa mengkhususkan berpuasa pada bulan Sya’ban hukumnya adalah sunnah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: (1)
وَمِنْ الْمَسْنُونِ صَوْمُ شَعْبَانَ.
Di antara puasa sunnah adalah puasa di bulan Sya’ban.
Bahkan diriwayatkan bahwa Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - paling banyak berpuasa Sunnah di bulan Sya’ban di bandingkan bulan-bulan yang lain.
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللهُ عَنْهَا -، قَالَتْ: لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي الشَّهْرِ مِنَ السَّنَةِ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ. (رواه مسلم)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha -, ia berkata: Saya tidak melihat Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - memperbanyak puasa dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya dari pada bulan Sya’ban. (HR Muslim)
عَنْ أُسَامَةَ بْنُ زَيْدٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ... وَلَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنَ الشُّهُورِ مَا يَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَمْ أَرَكَ تَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ: «ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ» (رواه أحمد)
Dari Usamah bin Zaid - radhiyallahu ‘anhuma -, ia berkata: Rasulullah - shallallahu 'alaihi wasallam - ... Dan tidaklah beliau banyak berpuasa kecuali di bulan Sya'ban. Aku bertanya: … Kami tidak melihat engkau banyak berpusa kecuali di bulan Sya'ban?. Beliau bersabda: “Itulah bulan yang orang-orang banyak yang lalai antara bulan Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan ditampakkannya amalan-amalan, dan aku suka ketika amalanku diperlihatkan dihadapan Rabbku, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ahmad)
Selain itu para ulama juga sepakat bahwa puasa yang dilakukan di bulan Sya’ban, pada dasarnya diniatkan sebagai puasa mutlak. Sebagaimana mereka juga sepakat, jika diniatkan bukan puasa mutlak tetapi puasa yang disunnahkan karena sebab khusus seperti puasa Dawud, puasa senin kamis, puasa qodho’, dan puasa sunnah khusus lainnya, maka boleh saja dilakukan pada hari-hari di bulan Sya’ban, meskipun bertepatan dengan hari syak (hari yang diragukan antara 30 Sya’ban atau 1 Ramadhan).
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(2)
إِذَا صَامَهُ تطوعا فَإِنْ كَانَ لَهُ سَبَبٌ بِأَنْ كَانَ عَادَتُهُ صَوْمَ الدَّهْرِ أَوْ صَوْمَ يَوْمٍ وَفِطْرَ يَوْمٍ أَوْ صَوْمَ يَوْمٍ مُعَيَّنٍ كَيَوْمِ الِاثْنَيْنِ فَصَادَفَهُ جَازَ صَوْمُهُ بِلَا خِلَافٍ.
Jika berpuasa sunnah di paruh kedua bulan Sya’ban, dilakukan karena suatu sebab seperti jika dilakukan karena kebiasaannya melakukan puasa dahr (setiap hari), puasa Dawud, atau puasa hari khusus seperti hari senin, yang berkebetulan berada di paruh kedua bulan Sya’ban, maka puasanya boleh dilakukan.
Para ulama juga sepakat bahwa disunnahkan untuk berpuasa sunnah mutlak pada paruh pertama di bulan Sya’ban, khususnya pada tanggal 15 Sya’ban. Namun, mereka berbeda pendapat jika puasa puasa mutlak dilakukan pada paruh kedua dari bulan Sya’ban hingga menjelang bulan Ramadhan.
Mazhab Pertama: Dilarang berpuasa.
Mazhab Syafi’i dan sebagian al-Hanabilah berpendapat bahwa dilarang berpuasa mutlak pada paruh kedua di bulan Sya’ban yaitu pada tanggal 16 Sya’ban dan seterusnya hingga menjelang Ramadhan.
Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: (3)
إِذَا صَامَهُ تطوعا ... وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ سَبَبٌ فَصَوْمُهُ حَرَامٌ ... فَإِنْ خَالَفَ وَصَامَ أَثِمَ بِذَلِكَ وَفِي صِحَّةِ صَوْمِهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ فِي طَرِيقَةِ خُرَاسَانَ (أَصَحُّهُمَا) بُطْلَانُهُ ...
Jika berpuasa sunnah di paruh kedua bulan Sya’ban … tanpa didasarkan kepada sebab khusus, maka puasanya adalah haram … Jika tetap dilakukan, maka ia mendapatkan dosa. Namun apakah puasanya tetap dinilai sah?. Ada 2 pendapat masyhur dari jalur Khurasan, yang mana paling shahih adalah puasanya batal (tidak sah).
Mereka mendasarkan pendapat ini pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضَانُ» (رواه ابن ماجه وأبو داود)
Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Jika sudah memasuki pertengahan bulan Sya’ban, maka janganlah berpuasa hingga dating bulan Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Mazhab Kedua: Tidak dilarang.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak dilarang berpuasa mutlak pada hari-hari di bulan Sya’ban, kecuali pada hari syak. Mereka mendasarkan kepada hadits tentang banyaknya Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - berpuasa di bulan Sya’ban.
عَنْ عَائِشَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا -، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ (متفق عليه)
Dari Aisyah - radhiyallahu ‘anha - berkata: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - sedemikian sering melaksanakan shaum hingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak pernah berbuka (tidak shaum), namun beliau juga sering tidak shaum sehingga kami mengatakan seolah-olah Beliau tidak pernah shaum. Dan aku tidak pernah melihat Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - menyempurnakan puasa selama sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan dan aku tidak pernah melihat Beliau paling banyak melaksanakan puasa (sunnah) kecuali di bulan Sya'ban". (HR. Bukhari Muslim)
Imam Jamaluddin Ali bin Zakaria al-Anshari al-Khazraji al-Hanafi (w. 686 H) berkata dalam kitabnya, al-Lubab fi al-Jam’i Baina as-Sunnah wa al-Kitab:(4)
(بَاب لَا يكره الصَّوْم بعد النّصْف من شعْبَان) ... عَن عبد الله بن أبي قيس، سمع عَائِشَة - رَضِي الله عَنْهَا - تَقول: كَانَ أحب الشُّهُور إِلَى رَسُول الله - صلى الله عَلَيْهِ وَسلم - أَن يَصُومهُ شعْبَان، ثمَّ يصله برمضان. فَإِن قيل: هَذَا مَحْمُول على أَنه كَانَ مُبَاحا للنَّبِي - صلى الله عَلَيْهِ وَسلم - فعله، وَقَوله عَلَيْهِ السَّلَام: «لَا صَوْم بعد النّصْف من شعْبَان حَتَّى رَمَضَان»، مَحْمُول على أَنه كَانَ مَحْظُورًا على غَيره. قيل لَهُ: إِنَّمَا كَانَ النَّهْي على سَبِيل الإشفاق مِنْهُ على صوام رَمَضَان أَن يضعفوا، وَقَوله عَلَيْهِ السَّلَام: «أحب الصّيام إِلَى الله تَعَالَى صِيَام دَاوُد، كَانَ يفْطر يَوْمًا ويصوم يَوْمًا»، فأباح النَّبِي - صلى الله عَلَيْهِ وَسلم - صَوْم يَوْم وَفطر يَوْم من سَائِر الدَّهْر، فَدخل مَا بعد نصف شعْبَان فِي الْإِبَاحَة.
(Bab tidak makruhnya berpuasa pada pertengahan kedua bulan Sya’ban) ... Dari Abdullah bin Abi Qois, ia mendengar Aisyah - radhiyallahu ’anha - berkata: “Bulan yang Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - senang berpuasa di dalamnya adalah bulan Sya’ban. Di mana beliau kemudian melanjutkannya dengan Ramadhan.” Namun jika dikatakan, “Bahwa hadits dimaksudkan sebagai kebolehan hanya untuk Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam -, dan sabdnya, “Tidak boleh berpuasa di paruh kedua bulan Sya’ban sampai bertemu dengan Ramadhan,” sebagai dalil larangan berpuasa atas yang lain.” Maka tanggapan ini dijawab bahwa, “:Larangan itu sebagai rasa sayang Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - agar tidak lemah saat berpuasa Ramadhan nantinya. Dan sabda Nabi, “Puasa yang paling dicintai oleh Allah - ta’ala - adalah puasa Dawud, yaitu satu hari berbuka dan satu hari berpuasa,” sebagai dalil bahwa puasa pada paruh kedua dari bulan Sya’ban termasuk dibolehkan.
--------------------
(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 6/386.
(2) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/400.
(3) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/400.
(4) Ali bin Zakaria al-Anshari al-Khazraji, al-Lubab fi al-Jam’i Baina as-Sunnah wa al-Kitab, (Beirut: Dar al-Qalam, 1994/1414), cet. 2, hlm. 1/407.
Silahkan baca juga artikel kajian islam tentang puasa berikut :
- Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan
- Sejarah Pensyariatan Puasa
- Keutamaan Ibadah Puasa
- Jenis-jenis Puasa
- Keistimewaan Bulan Ramadhan
- Hukum Puasa Bulan Sya'ban
- Jika Masih Ada Hutang Qodho’ dan Fidyah Ramadhan
- Hukum Puasa Ramadhan
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Islam
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Berumur Baligh
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Sehat
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Mampu
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Muqim Bukan Musafir
- Syarat Wajib Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Beragama Islam
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Berakal
- Syarat Sah Puasa Ramadhan : Suci Dari Haid atau Nifas
- Syarat Sah Ibadah Puasa : Pada Hari Yang Tidak Diharamkan
- Rukun Puasa Ramadhan : Niat
- Rukun Puasa Ramadhan : Imsak
- Imsak Yang Bukan Puasa
Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA
28 Maret 2021 ·