Syeikh Hasan Hitou
Nama besar Syeikh Hasan Hitou sudah tidak asing lagi di kalangan ulama Indonesia. Beliau ulama besar di bidang fiqih dan Ushul fiqih di masa kontemporer.
Bertemu beberapa kali dengan beliau secara langsung, rasanya seperti bertemu dengan The Living Legend.
Meski berasal dari Suriah, namun beliau akrab dengan Indonesia. Karena beliau mendirikan pondok pesantren sekaligus kampus unik di daerah sejuk Cianjur Jawa Barat.
Ma'had Al-Imam Asy-Syafi'i yang beliau gagas ini hanya menerima santri S1 dan S2. Yang masih Aliyah apalagi Tsanawiyah, tidak ada programnya.
Pengajarnya orang Arab murid-murid beliau sendiri. Rata-rata asli dari Suriah. Bagus sekali sebagai penutur bahasa Arab (native speaker).
Seluruhnya punya sanad keilmuwan atas berbagai kitab turats secara tersambung hingga ke level muallifnya.
Jadi kuliahnya gaya Azhar kuno, semua pakai kitab turats. Kalau Azhar modern kan pakai diktat yang disusun oleh dosen.
Meja kuliah mahasiswa di kelas dipenuhi tumpukan kitab tebal-tebal. Jadi ngobrol sama para mahasiswanya, rata-rata yang diomongin judul-judul kitab turats semua.
Pengurus ma'hadnya seorang kepercayaan sekaligus tangan kanan Syeikh adalah seorang Betawi lulusan dari Suriah, Ustadz Abdurrahman.
Beliau inilah yang menerima saya dengan senang hati dan mempertemukan saya dengan Syaikh Hasan Hitou beberapakali.
Saya dan teman-teman ustadz di RFI dihadiahi masing-masing kitab fiqih karya Puteri Beliau.
Tapi dialog kami agak kaku awalnya tapi lucu. Sebab RFI itu identik dengan LIPIA yang dikenal sebagai kampus Salafi Wahabi.
Jadi ceritanya Syeikh dikepung oleh sekumpulan anak Wahabi. Tapi diskusi kita tentu saja bukan terkait Wahabi. Tapi tentang ketidak-setujuan Beliau dengan LIPIA yang buka Fakultas Syariah level S1, tapi sudah buka jurusan Perbandingan Mazhab.
Beliau melihat dari sisi buruknya. Karena khawatir lulusannya malah jadi tidak bermazhab. Apa jawaban Saya?
Kekhawatiran Antum bisa saya pahami. Tapi kalau mau tahu hasilnya, buktinya kami-kami ini sebagai lulusannya. Seratus persen bermazhab Syafi'i. Beraqidah Asy'ari Maturidi. Bertasawuf Imam Ghazali.
Lho kok bisa ya? Beliau heran juga.
Bisa-bisa saja. Kan tergantung orangnya juga. Selain itu, kelebihan kita adalah berada di titik pusat mereka. Tiap hari kita bergaul dengan banyak model. Ada salafi, Wahabi, hizbi, dan banyak model lainnya.
Kita jadi terbiasa dengan perbedaan secara real, bukan sekedar literatur. Kita berada di Medan yang sesungguhnya.
Kok tidak terpengaruh? Yang terpengaruh sih ada saja. Tapi tidak semua. Buktinya kita ada.
Foto ini dijepret beberapa tahun lalu, ketika haflah kelulusan santri angkatan kesekian. Jauh sebelum Corona.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
19 April 2021