Pembaharuan Dalam Bidang Hadis?!
Sebenarnya mengklasifikasikan hadis menjadi shahih (valid) dan dhaif (lemah) adalah boleh-boleh saja jika dimaksudkan untuk mengetahui status masing-masing hadis lalu menempatkannya pada posisinya yang tepat. Tapi jika yang dimaksudkan dengan hal itu untuk mengetahui yang shahih dari yang dhaif, lalu yang dhaif untuk dibuang secara mutlak, ini menyalahi manhaj jumhur (mayoritas) ahli hadis baik dari kalangan salaf (pendahulu) atau khalaf (belakangan). Hampir-hampir tidak ada seorangpun dari kalangan ahli hadis, kecuali kedapatan memakai hadis dhaif, seperti pengarang kutub sittah (kitab hadis yang enam), yaitu Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, ataupun yang selain mereka.
Menurut mayoritas ulama ahli hadis, mengamalkan hadis dhaif diperbolehkan asal bukan dalam bidang aqidah serta halal haram, seperti bidang fadhail a’mal (keutamaan amalan), motivasi, doa-doa, dan yang semisalnya (syarat dan ketentuan berlaku). Oleh karenanya, membuang seluruh hadis dhaif secara mutlak lalu mengklaim hal ini sebagai bentuk “tajdid” (pembaharuan) dalam bidang hadis, merupakan kekeliruan yang nyata. Semua kaidah-kaidah ilmu hadis yang ada di zaman ini bersumber dari ulama ahli hadis terdahulu, lalu bagaimana kesimpulan akhirnya bisa berbeda ?
Dari ini kita sudah harus berfikir jernih dan kritis, sangat besar kemungkinan ada yang salah dalam pemahaman kita. Oleh karena itu, jangan mudah kita terpana dengan slogan-slogan orang belakangan yang sekilas keren, karena kalau diteliti secara seksama, ternyata murni sebagai sebuah kesalahan.
Contoh hadis yang masyhur yang berbunyi :
وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Ia (bulan Ramadhan) adalah suatu bulan yang awalnya kasih sayang, tengahnya ampunan dan akhirnya pembebasan dari api Neraka.”
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3336), dan selainnya, dari jalan Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Said bin Al-Musayyib, dari Salman lalu disebutkan hadisnya. Sanad ini lemah, karena Ali bin Zaid bin Jud’an seorang rawi yang lemah. Sehingga kesimpulannya, hadis di atas secara riwayat statusnya lemah.
Walaupun lemah secara riwayah, akan tetapi dari sisi dirayah, kandungan makna hadis di atas sahih dan bisa dipakai karena termasuk bab fadhail a’mal (keutamaan amalan). Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali telah mengupas hadis di atas secara dirayah, lalu melampirkan berbagai dalil yang sahih untuk memperkuat kandungan maknanya dalam kitab beliau “Lathaif Al-Ma’arif”, hlm. 211 – 212. Hadis ini juga banyak dicantumkan oleh para ulama klasik di dalam kitab-kitab mereka yang notabene dari kalangan ahli hadis.
(Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani
Kajian Islam · 7 April 2021·