Ramadhan : Antara Syariah dan Tradisi
Ramadhan tiap tahun disambut banyak orang. Konon kalau iklan sirup sudah mulai ramai, plus iklan sarung dan kurma, tandanya Radhan sudah menjelang.
Buat saya, tanda-tanda sudah dekat Ramadhan nampak dari banyaknya permintaan kajian Tarhib Ramadhan.
Dimana-mana tarhib, tarhib dan tarbih. Sudah dimulai bahkan sejak sebulan dua bulan sebelum datangnya Ramadhan. Malahan beberapa teman sesama ustadz bilang bahwa jadwal ceramah Ramadhan tahun ini sudah penuh, sampai shalat Idul Fitri sekalian.
Buat kita bangsa Indonesia, muslim atau bukan muslim, Ramadhan dengan segala pernak perniknya itu sudah menjadi tradisi nenek moyang.
Kenapa saya bilang tradisi?
Karena seringkali kita gagal mendapatkan contoh nyata dari amaliyah Nabi SAW sendiri terkait praktek Beliau di bulan Ramadhan. Namun sudah terlanjur kita anggap yang namanya Ramadhan ya kudu begitu. Kalau nggak begitu, ya bukan Ramadhan namanya.
Contoh besar adalah shalat tarawih berjamaah di masjid. Mana ada kayak gitu di zaman kenabian? Yang ada cuma tiga kali saja berjalan, lalu setelah itu justru dihentikan total oleh Nabi SAW hingga wafat.
Lalu kenapa kok kita malah menjalankan 'tradisi' shalat tarawih berjamaah di masjid? Tentu ini ada kajian fiqih yang mendalam dan rumit. Yang pasti kalau di zaman kenabian tidak kita temukan.
Apalagi kalau tarawihnya ditambahi dengan kultum (baca: kuliah terserah antum), maka itu lebih 'bidah' lagi. Tarawih berjamaahnya saja sudah nggak ada, apalagi kultumnya.
Itu baru ngomongin satu hal. Belum ditambah dengan tradisi buka puasa bersama. Ini marak banget di bulan Ramadhan, entah bersama keluarga, teman kantor, teman reunian, ataupun ramai-ramai di masjid.
Apakah ada tradisi buka puasa bersama ramai-ramai tiap hari di zaman Rasulullah SAW? Yang ada cuma hadits siapa yang memberi makan orang puasa, dia dapat pahala puasanya orang itu juga.
Tapi bagaimana prakteknya di Madinah masa itu?
Apakah restoran dan mal dipenuhi orang pada buka puasa? Ya nggak lah. Mana ada restoran dan mal di masa kenabian. Juga tidak ada even buka puasa bersama bareng alumni kampus, alumni SMA, alumni SMP, alumni SD, alumni TK dan alumni PAUD.
Terus bagaimana cara buka puasa di masa itu? Ya, buka puasa saja, makan di rumah masing-masing. Tanpa ada basa-basi, tanpa seremoni, tanpa acara pengajian sebelum berbuka.
Mana ada hadits menyebutkan Nabi SAW berbuka pakai kolak pisang, biji salak, aneka gorengan atau es buah segar. Yang ada cuma hadits bahwa Beliau SAW berbuka pakai kurma segar (ruthab), atau kurma (tamr) atau air putih. Dah, gitu doang.
Lalu apakah semua tradisi itu jadi haram dan terlarang, gara-gara Nabi SAW tidak pernah mencontohkannya?
Nah, ayo pada ngaku. Siapa tuh yang suka bilang bahwa kalau lah sesuatu itu baik, pastilah NAbi SAW sudah menjalankannya. Ternyata NAbi SAW 10 tahun tinggal di Madinah, tidak pernah pulang mudik, apalagi bagi-bagi THR dan angpau.
Juga di hari Lebarannya sendiri, Beliau tidak pernah silaturrahmi ke tetangga kanan kiri, saling bersalaman dan minta maaf.
Lalu apakah semua itu jadi haram dan bid'ah? Oh, tidak semudah itu Ferguso.
Sudah lama saya menulis materi kayak gini. Tahun lalu masih ada rekamannya.
https://youtu.be/p2gRbU6QbMM
Yang mau kumpulkan koleksi bukunya silahkan download disini : rumahfiqih.com/pdf/303
Sumber FB : Ahmad Sarwat
Kajian · 23 Maret 2021 pukul 09.44 ·
