Produktif Menuliskan Ilmu

Produktif Menuliskan Ilmu - Kajian Islam Tarakan

Produktif Menuliskan Ilmu

Kalau memperhatikan ulama sekaliber Al-Imam As-Suyuti rahimahullah (w. 911 H) yang jumlah karyanya mencapai 500 judul, tentu kita akan geleng-geleng kepala. 

Bagaimana ulama di abad ke 9-10 Hijriyah tanpa komputer atau mesin ketik, bisa menulis seproduktif itu?

Menulis satu buku saja, buat kita sudah sebuah angerah, 'the dream come true'. Para ustad yang kuliah di Timur Tengah jadi doktor atau MA,  rata-rata cuma nulis satu judul tesis atau disertasi. 

Itu pun setelah dinyatakan lulus, sama sekali sudah tidak pernah lagi dibuka. Mungkin yang hilang bukan cuma print outnya, bahkan file wordnya sudah hilang juga. Kehapus atau kena format ulang.

Saya coba analisa, bagaimana bisa ada sosok seproduktif As-suyuthu itu. 

Pertama : Ilmu Yang Meluber

Ini menurut saya point utama. Ilmu Beliau itu seluas alam semesta. Beliau menulis hampir semua cabang ilmu. Fiqih ada, Ushul Fiqih juga ada. Ilmu Al-Quran ada, Ilmu Hadits juga ada. 

Rasanya tidak perlu saya cantumkan satu-satu judulnya disini, cuma menghabiskan lembaran tulisan ini saja. 

Tapi intinya yang jadi modal pertama adalah ilmu yang banyak. Kalau nggak ada ilmunya, terus mau nulis apa? Mengarang bebas?

Bisa saja sih mengarang bebas. Tapi karyanya bukan karya ilmuyah, sebab isinya bukan ilmu tapi lebih kepada ekspresi seni. Jatuhnya ke genre karya fiksi seperti cerpen, novel, lagu dan sejenisnya. 

Tentu tidak buruk. Tapi nggak kita sebut ulama ahli ilmu, kalau karyanya hanya berupa novel atau lagu. Mungkin akan lebih cocok kalau kita sebut sebagai pujanga atau seniman saja. Lebih pas rasanya.

Contohnya Bang Haji Rhoma Irama. Beliau bukan ulama ahli ilmu,  tapi Beliau adalah seorang seniman. Lebih spesifiknya adalah pemusik yang banyak menulis lirik lagu dan suka menyelipkan pesan-pesan agama dalam lirik lagunya. Ya, itu sih fine-fine saja.

Beliau itu produktif mengarang lagu. Kalau tidak salah lebih dari 1000 judul lagu. 

Seniman tentu beda dengan ulama. Kalau ulama tentu yang ditulis bukan lagu tapi sekian banyak cabang ilmu. Namun bukan berarti kalau ulama tidak boleh nulis nulis puisi atau syair. Silahkan dan boleh-boleh saja. Itu buktinya Imam Asy-Syafi'i banyak juga syair-syair inspiratifnya, hingga dibukukan menjadi Diwan Asy-Syafi'i. 

Namun tetap saja yang seharusnya dominan adalah karya di bidang ilmu-ilmu tertentu. Dan biasanya seiring dengan jumlah ilmu yang dimilikinya, maka jumlah tulisannya juga akan jadi banyak, karena selain punya ilmu juga aktif menulis. Saya jadi teringat nasehat : Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. 

Kedua : Kecerdasan Dalam Menulis

As-Suyuti ini termasuk sedikit orang yang diberi karunia kecerdasan dalam menuliskan apa yang ada di dalam kepalanya.

Jadi menulis bagi beliau itu nampaknya ringan saja, seringan kalau kita bicara. Bahkan boleh jadi, buat beliau itu malah lebih ringan menulis, ketimbang berbicara. 

Dan kesempatan menulis itu sebenarnya jauh lebih luas ketimbang kesempatan untuk berbicara. Menulis bisa dilakukan sendirian saja, tidak perlu teman atau lawan, jadi sebenarnya kita bisa menulis kapan saja. 

Sedangkan untuk berbicara, minimal kan harus ada lawan bicara. Kalau ada lawan bicara, baru kita bisa bicara. Kalau nggak ada lawan bicaranya, masak sih kita mau bicara sendirian? Nanti bikin orang pada curiga . . . Kok sudah bicara sendirian ya? Udah lama nggak minum obat?

Keterampilan menulis inilah yang -sayangnya- tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Jarang-jarang ulama yang jago menulis dan tulisannya sering nongol. Kalau pun sering nongol, enak apa nggak tulisannya untuk dibaca? 

Sebenarnya jujur saja kita punya banyak ulama, ustadz, kiyai, tokoh agama, bahkan dosen, profesor dan doktor, yang ilmunya ampe tumpe-tumpe saking banyaknya. Tapi masalahnya mereka itu jarang menulis, sehingga kita tidak bisa mengambil manfaat dari karya tulisnya. 

Sekarang yang jadi pertanyaan adalah :  

Apakah kemampuan menulis ini semata-mata pemberian Allah SWT begitu saja? Apa benar bayi lahir lalu tiba-tiba dan ujug-ujug langsung jago menulis?  Ataukah sebenarnya setiap orang pada dasarnya bisa menulis, asalkan bakatnya diasah?

Saya kurang paham kalau masalah ini. Rasanya kalau bakat sih pasti ada pengaruhnya. Faktor keturunan juga mungkin berpengaruh. Tapi saya juga yakin bakat dan keturunan saja belum cukup. Tetap harus diasah juga. Dan setidaknya faktor lingkungan dan atmosfer juga ikut berpengaruh. 

Anak yang lahir dari pasangan ayah ibu penyanyi, banyak juga yang besarnya jadi penyanyi. Logika saya, setidaknya meski suaranya rada fals dikit, tapi kedua orang tuanya akan memoles sana-sini. Setidaknya,  si anak sejak kecil sudah tahu lagu dan musik. Jadi masuk studio sudah tidak plonga-plongio lagi. 

Jadi nampaknya menurut saya sih banyak faktor lah. Dan tiap orang boleh jadi punya faktor dominan yang berbeda.

Jadi kesimpulannya saya percaya bahwa kemampuan menulis itu juga bagian dari anugerah Allah. Saya menuyebutnya sebagai 'kecerdasan menulis'. 

Saya tidak tahu istilah ilmiyahnya. Tapi maksudnya memang ada berbagai macam jenis kecerdasan. Dan kecerdasan itu tidak harus selalu terkait dengan pandai matematika dan berhitung. 

Jago nendang bola masuk gawang lawan atau pandai gocet sana gocet sini, konon termasuk jenis kecerdasan juga. Mungkin kecerdasan motorik atau apalah namanya.

Teman main saya zaman SD, Si Ipin namanya, jago banget maen gundu (kelereng). Kalau maen gundu, dia menang melulu. Walaupun modalnya cuman gundu sebiji.

Apalagi urusan nimpuk mangga, wah dia jagonya. Biasanya yang jadi sasaran mangga di kebun Wak Duloh.

Mangganya sih kena timpuk sama si Ipin, tapi jatuhnya di pekarangan Wak Duloh. Pas kita mau ambil, Wak Duloh keluar bawa selepetan. Karuan kita pada ambil langkah seribu. 

Nah di zaman sekarang, si Ipin dibilang punya kecerdasan. Saya nggak tahu apa namanya, tapi sebut saja kecerdasan : Jago nimpuk mangga.

Saya amat yakin bahwa kecerdasan menulis itu bisa diasah sebelumnya. Di sekolah kita,  kecerdasan ini dipupuk lewat pelajaran Bahasa Indonesia. Dulu saya mengalami ada pelajaran : Mengarang. 

Sayangnya buat sebagian teman, mengarang ini termasuk pelajaran susah banget. Padahal kalau disuruh cerita, sampai berbuih mulutnya nggak habis-habis ceritanya. Apa aja bisa jadi bahan cerita.

Tapi giliran disuruh tuliskan isi ceritanya, cuma tertulis tiga kata : Pada suatu hari . . . 

Sudah, segitu doang. Hehe

Kalau sekelas As-Suyuti bisa menulis hingga 500 judul kitab, bukan karena laptopnya seharga 50 juta. Itu sih laptop buat gaming, bukan buat nulis. Buat nulis sih pakai laptop sejuta umat saja sudah cukup. 

Jadi yang diupgrade bukan laptopnya, tapi otaknya. Setidaknya itu otak kudu diinstall-kan aplikasi 'kecerdasan menulis'. Biar produktif, ilmunya tidak mampet, tapi mengalir lancar jadi tulisan.

Sayangnya otak manusia tidak bisa diinstall macam komputer, tapi bisa dilatih. Sayangnya, jarang yang mau berlatih. Kalau pun mau, belum ada tempat atau institusi untuk melatih. 

oOo

Saya di Rumah Fiqih Indonesia lagi coba-coba melatih para ustadz untuk terbiasa menulis. Berhasil atau gagalnya silahkan dinilai oleh publik. 

Yang jelas, di web rumahfiqih.com sudah terpampang 55 judul buku karya ustad RFI. Ini untuk buku cetak yang dijual. Bisa dipesan secara online ke ustadz Lukman Syafri di nomor 0853-4177-1661 

Kalau buku yang free bisa didownload gratis, sudah ada 351 judul. Silahkan baca dan manfaatkan. Linknya disini : rumahfiqih.com/pdf

Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat

Kajian · 13 Maret 2021 pada 09.27  · 

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Produktif Menuliskan Ilmu". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait