Membincang Mi'raj
Ada yang bilang bahwa Mi'raj itu tidak masuk akal sebab apabila jasad manusia (baca: Tubuh Rasulullah) melesat dengan kecepatan di atas kecepatan cahaya, maka pasti akan hancur. Dengan demikian mustahil manusia bisa terbang secepat itu ke atas menembus lapisan langit, katanya.
Ada lagi yang bilang bahwa buraq itu terbang dengan kecepatan berapa sih? Mana ada hewan bisa terbang secepat gitu, apalagi pakai kepakan sayap?* Ah pasti ngarang.
Yang bilang seperti di atas itu ⬆️ sebenarnya lucu. Dia merasa ilmiah padahal justru tidak ilmiah. Kenapa tidak ilmiah? Karena mukjizat itu tidak bisa dibahas secara ilmiah atau menggunakan kaidah fisika yang kita kenal. Membincang mukjizat dalam koridor sains justru tidak ilmiah.
Yang perlu dicatat, mukjizat itu bukan tindakan makhluk, bukan pula upaya makhluk, tetapi tindakan Tuhan atas makhluk yang dipilih-Nya. Tuhan itu penentu hukum fisika. Dia lah yang menentukan batas kemampuan makhluk sampai mana, apa saja karakteristik tiap makhluk dan bagaimana reaksi satu makhluk ketika bertemu makhluk lainnya. Dari aturan-aturan Tuhan itu kita mengenal hukum fisika yang ada sekarang. Kita menjadi tahu bahwa kertas akan terbakar ketika bertemu api atau bahwa tubuh manusia akan hancur bila ditabrak keras atau hancur bila melesat terlalu cepat. Itu semua hukum fisika yang diberlakukan Tuhan untuk keseharian kita.
Namun apakah Tuhan wajib memberlakukan hukum fisika yang kita kenal ini dalam setiap kondisi? Tidak wajib. Dia bebas membuat ketentuan yang lain, bebas membuat hukum fisika lainnya dan bebas mau apa, asalkan Tuhan berkehendak sebab dia penentu segala hal. Di akhirat nanti, fisika dua sama sekali tidak berlaku. Di sana manusia tidak bisa mati meskipun gosong dibakar di neraka, tidak bisa capek, tidak buang air meski makan sebanyak apa pun dan seterusnya. Intinya akhirat punya hukum alamnya sendiri yang berbeda dengan dunia.
Kalau Tuhan mau, apa sulitnya Dia membawa Nabi Muhammad terbang menembus langit dengan kecepatan luar biasa tanpa harus terkena aturan fisika yang biasa diberlakukan pada makhluk lainnya? Biasa saja tak ada yang Istimewa bagi Tuhan. Namanya juga Tuhan. Kalau masih harus tunduk pada hukum fisika dunia, maka bukan Tuhan namanya.
Beginilah paradigma yang semestinya dipakai ketika membahas semua mukjizat para Nabi. Kalau masih bisa pakai paradigma sains yang kita kenal sekarang, maka bukan mukjizat namanya tapi kejadian biasa. Gak ada hebatnya kalau begitu sebab akan mungkin diduplikasi siapapun.
Ah gak percaya, pokoknya kalau tidak bisa dibahas secara saintifik berarti tidak ada. Kalau ada yang bicara begitu, artinya dia bicara soal keimanan, bukan soal sains lagi. Bedanya kita sebagai muslim beriman bahwa Tuhan berhak berbuat aturan apa pun yang dikehendaki-Nya sedangkan dia beriman bahwa Tuhan wajib tunduk pada hukum alam yang ada sekarang yang entah siapa yang merancang. Atau bisa jadi dia beriman pada ketiadaan Tuhan itu sendiri. Semua ini masalah iman, bukan masalah sains. Jadi, ingkar pada kuasa Tuhan atau ingkar pada Tuhan itu sendiri juga iman sebenarnya sebab itu di luar wilayah bahasan sains. Sama-sama iman, mending iman pada Allah dan Rasulullah daripada iman pada pikiran sendiri seperti para ateis dan agnostik.
*NB: Buraq tak bersayap
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
Kajian · 14 Maret 2021 pukul 13.51 ·