Setiap malam Kamis habis Maghrib saya secara rutin memimpim pengajajian rutin mingguan yang saya beri nama : Kajian Malam Kamis disingkat KMK.
Nama KMK ini sebenarnya biar gampang saja penyebutannya. Soalnya memang diselenggarakan tiap malam Kamis, sejak 40-an tahun yang lalu.
Awalnya kajian ini diinisiasi oleh ayah saya, KH. Drs. H.M Machfuzh Basir, sejak awal mula pulang dari Mesir. Saat pulang itu, Beliau diangkat oleh masyarakat untuk menjadi ketua DKM masjid Raudhatul Falah, yang letaknya tepat di depan rumah ayah saya.
Salah satu kegiatan rutinnya adalah pengajian malam Rabu dan malam Kamis. Malam Rabu diasuh oleh Kiyai Haji Muhammaf Arif Ismail, atau sering disebut orang dengan laqab khas : Haji Raja.
Sedangkan malam Kamis giliran ayah saya yang mengajar. Waktunya sehabis Maghrib hingga Isya' lewat sedikit. Materi pelajarannya ada empat tema bergonta-ganti tiap minggunya.
Ada materi fiqih, kalau tidak salah pakai kitab Matan Abi Syuja' Al-Ghayah wa At-Taqrib. Ada materi Hadits Riyadhus-Shalihin, ada juga kitab Tambihul Ghafilin karya Imam Abu Laits As-Samarqandi. Bahkan ada juga materi Tafsir, namun saya lupa kitab apa yang digunakan.
Soalnya meski pakai kitab, namun kita sebagai jamaahnya tidak pegang kitab. Sebagai gantinya, ayah saya membagikan lembaran fotokopian, dimana biasanya Beliau menukilkan isi kitab berbahasa Arab lalu menuliskan pakai tangan di lembaran itu.
Barangkali ini teknik yang paling mudah ketika itu. Sebab jamaah yang datang dengan tangan kosong tetap bisa punya catatan berupa lembaran fotokopian.
Walau pun juga ada kelemahannya, yaitu karena cuma berupa lembaran-lembaran saja, maka kadang sudah terlalu rapi menyimpannya, sehingga kalau dicari malah nggak ketemu. Maksudnya ya hilang.
Walaupun ada juga jamaah pengajian yang rajin, semua lembaran yang didapatnya selalu dikumpulkan, lalu dijilid atau dibundel sebegitu tebalnya.
Ayah saya itu sebelum mengajar nanti malam, siangnya sibuk buka-buka kitab. Dan bukan hanya dibaca, namun juga ditulis ulang di atas kertas lembaran HVS putih. Teks asli disalin, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan huruf Arab pegon, melayu rendah.
Lembaran ini kemudian difotokopi sejumlah jamaah yang datang. Lalu dibaca bersama-sama. Ayah saya mengawali lalu jamaahnya mengikuti.
Begitu seterusnya hingga akhirnya ayah saya memindahkan pengajian malam Kamis dari masjid ke rumah kami. Kebetulan ada sedikit halaman yang bisa dibangun menjadi semacam aula tempat pengajian. Itu terjadi sekitaran tahun 85-an, yaitu ketika ayah saya sudah tidak lagi menjadi pengurus masjid.
Jamaahnya tetap setia, ikut pindah dari masjid ke rumah ayah saya. Bahkan sebagiannya malah minta waktu khusus untuk belajar ilmu agama secara lebih khusus dan mendalam lagi, yaitu khusus belajar tahsinut tilawah Al-Quran.
Waktunya tiap malam Selasa bakda Isya'. Tapi anggotanya khusus para dewan jenderal saja. Disitulah mereka habis-habisan dikerok lidahnya biar fasih baca Al-Quran.
Ayah saya ini memang rada ketat dalam urusan kefasihan baca Quran. Makharijul huruf, sifatul huruf dan ilmu tajwidnya rada ngelotok, setidaknya untuk ukuran kita anak-anak Betawi yang kurang faseh.
Saya pribadi tidak ikut pengajian malam Selasa, selain isinya orang tua semua, mungkin karena terlalu malam dan dianggap sudah lulus. Apalagi saya pernah mondok sebentaran saja, yaitu selama bulan suci Ramadhan, di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Jalan Kaliurang km 17 Jogjakarta.
Pondok ini sangat ketat dalam urusan kefasihan baca Quran, walaupun ada yang menurut saya agak berbeda dalam pelafalannya.
Ketika ayah saya wafat di tahun 2005, pengajian malam Kamis dan malam Selasa pun berhenti dan fakum. Soalnya mereka belum menemukan lagi sosok guru yang seideal ayah saya.
Seingat saya hampir setahun lamanya kosong, hingga akhirnya beberapa murid setia ayah saya datang sowan ke rumah. Mereka sudah rapat dan sepakat meminta saya untuk menggantikan posisi ayah saya.
Saya tentu bahagia namun juga bingung. Sebab secara umur-umuran, saya ini terbilang masih muda, baru lulus Lc LIPIA di tahun 2001. Masih bau kencur lah.
Sedangkan murid-murid ayah saya, rata-rata orang yang usianya jauh di atas saya. Waktu itu saya masih pakai celana pendek main lari-lari kesana kemari berisik menggangu pengajian. Namanya juga anak-anak. Sedangkan mereka sudah jadi murid ayah saya.
Lha kok sekarang saya diminta jadi guru mereka? Ini aneh dan unik sekali.
Namun atas dorongan ibunda saya, saya diberi motivasi. Iya kan saja permintaan mereka. Kamu bisa dan pasti bisa.
Sebenarnya kalau urusan bisa, ya memang bisa. Sebab sejak masih SMA kan saya sudah akftif ikut berbagai macam aliran dunia persilatan. Kalau cuma pegang mikrofon mengisi pengajian, saya sudah menjelajah kemana-mana.
Tapi forumnya bukan murid-murid ayah saya. Forumnya adalah anak SMA, mahasiswa, atau pegawai kantoran.
Sedangkan menggantikan ayah saya memimpin majelis taklim yang sudah seattle dan eksis puluhan tahun, tentu lain cerita. Tapi karena ibu saya mendorong terus, maka saya pun mengiyakan.
Tapi ada sedikit kendala dengan materi kajian. Saya ini dibesarkan dengan sistem kampus dengan seabreg bahan muqarar yang biasa dibaca secara cepat di kelas. Dosen-dosen saya biasa meminta kita membaca kitab muqarar tanpa harus diterjemahkan lagi kata per kata.
Nah sekarang saya kudu mengajar pakai kitab, namun muridnya sama sekali tidak bisa bahasa Arab. JAdi kitab dibaca tanpa tahu makna. Tugas saya justru memaknai kata per kata. Wah, ini sih ngerjain namanya.
Kenapa saya agak kurang sreg? Karena akhirnya kita jadi terfokus hanya pada bagaimana menerjemahkan tiap kata. Kalau di Jawa, yang diributin itu utawi-utaminya saja. Mana mubtada' mana khobar. Kontennya sendiri malah luput dari target kajian.
Selain itu saya merasa baca kitab gaya ini kok lambat banget. Masak sekali pertemuan cuma dapat tiga empat paragraf?
Ibarat makan bubur ayam paket lengkap, baru dicicipi kerupuknya doang, eh waktunya sudah habis. Sudah terlanjur adzan Isya'.
Dari situ saya kemudian mengusulkan sebuah 'bid'ah' baru. Hehe ya saya istilahkan bid'ah karena belum pernah dilakukan oleh ayah saya selama ini.
Saya bikin makalah dalam bahasa Indonesia. Misalnya kita lagi mau bahas bab yang membatalkan wudhu, maka judul makalahnya : Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu. Kadang 10 hingga 15 halaman, semua dalam bahasa Indonesia.
Rupanya bid'ah baru saya ini justru dapat respon yang baik dari jamaah. Karena berbahasa Indonesia, langsung mudah dipahami tanpa harus nunak-nunuk menebak-nebak makna kata per kata.
Jadilah akhirnya tiap hari Rabu saya dikejar-kejar deadline menyelesaikan penulisan makalah. Sebenarnya mudah sih, toh saya hanya menuliskan kembali pelajaran saya waktu kuliah di Fakultas Syariah LIPIA dulu.
Apalagi sudah ada kitab Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu yang amat rinci dan detail serta sistematis. Jadi secara bahan tulisan, saya seperti tinggal copas-copas saja.
Sengaja saya tidak melakukan penerjemahan, karena hasil terjemahan saya selalu terasa kaku. Saya lebih suka menarasikan ulang isi pesan dari kitab Beliau. Biar bahasanya lebih natural, mudah dipahami dan enak dibaca.
Lalu ketika semakin sering saya dikejar-kejar deadline, akhirnya saya berpikir untuk menulis lebih banyak lagi, biar punya stok dan bahan cadangan. Lucunya ketika stok tulisan saya sudah banyak, banyak jamaah yang minta bocoran duluan.
Maka akhirnya ketemu idenya, bagaimana kalau makalah-makalah ini kemudian dicetak saja jadi buku. Jadi ngajinya tidak lagi pakai makalah tapi langsung pakai buku.
Dari sanalah kemudian saya merasa perlu memberi nama buku itu. Dan karena jumlahnya cukup banyak, hingga berseri-seri dan berjilid-jilid, juga mencakup banyak aspek kehidupan, akhirnya saya memilih nama yang khas yaitu : Seri Fiqih Kehidupan.
Alhamdulillah jumlahnya mencapai 18 jilid. Totalnya kurang lebih 10.000 halaman. Padahal asal muasalnya untuk mengejar target bikin makalah untuk mengisi kajian malam kamis.
Karena sudah jadi buku, ternyata yang tertarik untuk membacanya tidak sebatas jamaah KMK saja, tetapi juga jamaah di tempat lain, bahkan sampai keluar kota.
Sebagian orang ada yang bikin bid'ah baru dengan buku saya yang 18 jilid itu. Mereka jadikan mahar dalam acara pernikahan. Ini jelas-jelas bi'dah banget. Mana ada di zaman kenabian dulu, shahabat menikah dengan mahar 18 jilid Seri Fiqih Kehidupan?
Tapi namanya juga trend, satu mengawali, yang lain mengikuti. Kalau sudah sampai disitu, saya berlepas diri. Biar diurus sama Isnawati LD saja. Dia salah satu murid saya yang khusus saya tugaskan kalau ada yang mau beli 18 Seri Fiqih Kehidupan.
CATATAN : Tulisan ini jelas bukan copywriting. Walaupun ada saja yang menebak ini juga termasuk teknik membuat materi pemasaran yang dapat mengajak audiens beli buku.
Sumber FB : Ahmad Sarwat
Kajian · 5 Maret pada 08.38 ·