Dzikir meurpakan perintah Allah yang dapat dilakukan dengan hati maupun dengan lisan, atau kedua-duanya secara bersamaan. Perintah dzikir salah satunya disebut dalam Al-Qur’an Surat al-Insan ayat 25:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ بُكْرَةً وَأَصِيلا (٢٥)
“Dan sebutlah nama Tuhanmu pada (waktu) pagi dan petang.”
Pada dasarnya mengingat Allah tidak terikat dengan tempat dan waktu. Kapan saja dan di mana seja seharusnya seorang hamba selalu mengingat Allah subhanahu wata’ala. Karena dzikir memiliki banyak keutamaan bagi siapa saja yang melaksanakannya lebih-lebih dilaksanakan secara berjamaah. Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diriwayatkan oleh imam muslim dari Abi Sa’id al-Khudri dan Abi Ghurairah bahwa keduanya menyaksikan Rasulullah bersabda:
لَايَقْعُدُوْنَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى اِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ تَعَالَى فِيْمَنْ عِنْدَهُ رواه مسلم
“Tidaklah duduk dan berkumpul suatu kaum dengan mengingat Allah (berdzikir) kecuali mereka dikepung oleh para malaikat, diliputi rahmat, diberikan ketenangan, dan Allah mengingat siapa saja yang berada di tengah-tengah perkumpulan tersebut” (HR Muslim).
Bertolak dari begitu banyaknya macam dzikir, tulisan ini lebih fokus kepada dzikir yang bersifat ucapan seperti melafalkan tasbih, tahlil, tahmid, istighafar, hauqalah, dan sebagainya. Ada waktu-waktu tertentu yang justru disunnahkan berhenti berdzikir, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Adzkar karya Imam Nawawi:
لِلذَّاكِرِ يُسْتَحَبُّ لَهُ قَطْعُ الذِّكْرِ بِسَبَبِهَا (الْاَحْوَالِ) ثُمَّ يَعُوْدُ اِلَيْهِ بَعْدَ زَوَالِهَا مِنْهَا اِذَاسُلِّمَ عَلَيْهِ رَدَّ السَّلَامَ ثُمَّ عَادَ اِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا اِذَا عَطَسَ عِنْدَهُ عَاطِسٌ شَمَّتَهُ ثُمَّ عَادَ اِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا اِذَا سَمِعَ الْخَطِيْبَ ثُمَّ عَادَ إِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ أَجَابَهُ فِيْ كَلِمَاتِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ ثُمَّ عَادَ إِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا إِذَا رَأَى مُنْكَرًا أَزَالَهُ اَوْمَعْرُوْفًا اَرْشَدَ اِلَيْهِ اَوْ مُسْتَرْشِدًا اَجَابَهُ ثُمَّ عَادَ اِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا اِذَا غَلَبَهُ النُّعَاسُ اَوْ نَحْوُهُ وَمَااَشْبَهَ هَذَا كُلَّهُ
“Disunnahkan bagi seseorang yang berdzikir memutus dzikirnya dalam beberapa kondisi, kemudian ia kembali berdzikir setelahnya. Pertama, ketika ada yang memberi salam, maka ia wajib menjawab dan setelah itu kembali berdzikir. Kedua, ketika ada yang bersin, maka ia mendoakannya, dan setelah itu kembali berdzikir. Ketiga, ketika mendengar khatib berkhutbah ia lebih baik mendengarkan, setelah itu kembali berdzikir. Keempat, ketika mendengar adzan dan iqamah, maka ia menjawab dengan lafal yang sama, setelah itu kembali berdzikir. Kelima, ketika melihat kemungkaran, ia mencegahnya; atau melihat kebaikan, ia menunjukkan kepadanya; atau ada seseorang yang meminta petunjuk, ia memenuhinya, setelah itu kembali berdzikir. Keenam, ketika dalam keadaan sangat mengantuk dan sebagainya” (Imam Nawawi, Al-Adzkar, Semarang: Alawiyah, hlm. 13-14).
Imam Nawawi dalam kitabnya menyebutkan ada beberapa kondisi yang dianjurkan untuk memutus lafal dzikir dan kemudian mengulanginya. Hal ini tentu berdasarkan alasan-alasan yang menguatkan pendapat tersebut. Dzikir merupakan perintah Allah, hal ini menunjukkan bahwa dzikir adalah amalan yang baik lagi bermanfaat bagi manusia. Namun demikian, barangkali ada hal lain yang nilai kebaikannya bisa membandingi atau bahkan melebihi dari sekadar berdzikir dengan lisan.
Sebagaimana penjelasan di atas dapat dianalisa sebagai berikut:
Pertama, menjawab salam adalah wajib. Imama Nawawi dalam kitab Al-Adzkar pada bab hukmi assalam menghukumi wajibnya menjawab salam.
يَجِبُ عَلَى الْمَكْتُوْبِ إِلَيِهِ رَدُّ السَّلَامِ إِذَا بَلَغَهُ السَّلَامُ
“Wajib menjawab salam atas ucapan salam yang tertulis.”
Hal ini menunjukkan adanya kewajiban menjawab salam. Penjelasan senada, jika ada seseorang yang mengirimkan salam lewat seseorang, maka wajib dijawab secepatnya. Annahu Yajibu ‘alaihi an yarudda ‘alal fauri (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hlm. 221).
Kedua, hal mendoakan orang bersin. Mendoakan orang bersin adalah bagian dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Barra bin ‘Azib berkata:
اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِسَبْعٍ بِعِيَادَةِ الْمَرِيْضِ وَاِتْبَاعِ الْجَنَائِزِ وَتَشْمِيَتِ الْعَاطِسِ وَنَصْرِ الضَّعِيْفِ وَعَوْنِ الْمَظْلُوْمِ وَإِفْشَاءِ السَلَامِ وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ هذا لفظ احدى روايات البخارى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami dengan tujuh hal: menjenguk orang sakit, mengiring jenazah, mendoakan orang yang besin, menolong orang yang lemah, menolong orang yang teraniaya, menebar salam, dan memperbagus sumpah” (Demikian ini adalah lafal dari salah satu riwayat Bukhari).
Ketiga, mendengarkan khutbah. Hukum mendengarkan khutbah adalah sunnah (lihat: Kifayatul Akhyar, juz I, hlm. 151). Hal ini didasarkan ayat
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (٢٠٤)
“Dan apabila dibacakan Al-Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf [7]: 204).
Dan berdasarkan hadits idza qulta lishahibika yaumal jumati wal imamu yakhtubu anshit (bila engkau berbicara dengan sahabatmu saat imam khutbah, diamlah!). Hadits ini biasanya dibaca oleh muadzin sebelum khutbah dimulai.
Keempat, ketika mendengar adzan. Rasulullah memerintahkan menjawab adzan dan iqamah sebagaimana lafal adzan kecuali hayya ‘alashshalah dan hayya ‘alalfalah.
اِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ رواه البخارى و مسلم
Ketika kalian semua mendengar panggilan (shalat) maka ucapkanlah kalimat yang serupa sebagaimana diucapkan oleh orang yang adzan (HR. Imam Baukhari dan Muslim).
Artinya bahwa menjawab adzan juga merupakan kesunnahan, bahkan Nabi sendiri memerintahkannya. Oleh karenanya ketika sedang berdzikir disunnahkan berhenti sejenak dan menjaawab adzan baru kemudian kembali berdzikir.
Kelima, pada poin ini terkait dengan hubungan sesama makhluk. Islam mengajarkan agar memiliki akhlak yang baik secara vertikal begitupun secara hrisontal. Dengan demikian segala kemungkaran, yang bisa membahayakan harus sesegera mungkin dicegah atau bahkan dihilangkan. Begitupun menebar kebaikan, sebaiknya secepatnya ditunaikan, apalagi benar-benar dibutuhkan oleh orang banyak. Sehingga, tak masalah berhenti berdzikir sejenak demi mencegah kemungkaran dan menebar kebaikan, baru kemudian kembali berdzikir. Karena pada hakikatnya mencegah kemungkaran dan menebar kebaikan adalah bagian dari dzikir.
Keenam, dalam kondisi yang sangat mengantuk. Kitab At-Tibyan (hlm. 94) menjelaskan tentang kemakruhan membaca Al-Qur’an dalam keadaan sangat mengantuk. Hal ini dapat tarik pemahaman dari ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ (٤٣)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...” (QS AN-Nisa[4]: 43).
Jika seseorang membaca Al-Qur’an ataupun dzikir lain dalam kondisi sangat mengantuk dikhawatirkan apa yang diucapkan tidak sesuai dengan lafal yang benar dikarenakan kesadarannya tidak sempurna.
Demikianlah sedikit penjelasan mengapa dzikir yang merupakan sunnah namun disunnahkan untuk berhenti pula karena suatu hal. Pada bab sebelumnya Imam Nawawi juga menjelaskan waktu-waktu yang makruh untuk berdzikir di antaranya ketika duduk dalam rangka buang hajat, ketika sedang berhubungan suami isri (jimak), ketika khutbah sedang berlangsung bagi yang mendengar suara khatib, ketika melaksanakan shalat (lebih baik fokus pada bacaan shalat bukan dzikiran yang lain), dan ketika sedang dalam kondisi mengantuk berat.
Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta
Sumber Web: https://islam.nu.or.id/post/read/115448/6-kondisi-seseorang-disunnahkan-berhenti-melafalkan-dzikir (Ahad 12 Januari 2020 16:30 WIB)