Dari Dakwah Keras ke Era Tarbiyah (bagian ketiga, habis)
Tulisan ini boleh dibilang sambungan dari dua tulisan sebelumnya.10 April 2018 · Ustadz Rahmat Abdullah vs Dr. Salim Segaf Al-Jufri (#bag. 1) https://www.facebook.com/ustsarwat/posts/2120929491257695
11 April 2018 : Ustadz Rahmat Abdullah vs Dr. Salim Segaf Al-Jufri (#bag. 2) https://www.facebook.com/ustsarwat/posts/2121577524526225
Cerita-cerita dakwah di masa lalu, tahun 80-an hingga 90-an. Kisah tentang interaksi saya dengan beberapa tokoh seperti alm. Ustadz Rahmat Abdullah dan Dr. Salim Segaf Al-Jufri dan juga aktifitas tarbiyah masa lalu.
Gara-garanya saya ditagih-tagih terus oleh banyak orang, mana sambungannya? Ya, sudah inilah sambungannya. Selamat menikmati. Sengaja saya bikin panjang, biar pada capek bacanya dan kapok menagih janji melulu. Hehe
* * * * *
Saya sejak masih SMA tahun 80-an dulu memang ikut dakwah sesuai dengan zamannya, yaitu dakwah yang rada keras dan semangat tinggi. Maksudnya dakwah keras itu dakwah yang setidaknya menyimbolkan untuk anti rezim di masa itu. Memang boleh dibilang awalnya umat Islam agak berjarak dengan rezim saat itu, saya sendiri tidak tahu bagaimana cerita awalnya.
Mungkin ada semacam 'sakit-hati' politis gara-gara ruang gerak politik umat Islam dibatasi, atau sebab lain yang saya tidak tahu. Namun memang semua partai Islam fusi jadi satu saja yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan rezim memiliki Golongan Karya (Golkar) yang selalu menang Pemilu.
Umat Islam sebagaimana biasa, terbelah dua. Ada yang terang-terangan mendukung rezim dengan berjalan mendekat-dekat penguasa untuk mencari posisi yang menguntungkan, dan ada yang rada-rada menjauh sambil bikin sedikit-sedikit perlawanan.
Warna-warninya memang nyata terlihat, misalnya diharuskannya semua ikut penataran P4, serta semua ormas harus berasas tunggal Pancasila, diikuti dengan larangan pakai jilbab di sekolah umum, sehingga banyak siswi yang terpaksa dikeluarkan dari sekolah.
Keadaan Berbalik
Tapi lama-lama keadaan berubah. Rezim ORBA di bawah pimpinan pak Harto kemudian melunak dan lebih mendekat ke umat Islam pada umumnya.
Masuk tahun 90-an, Beliau dan Ibu Tien malah menunaikan ibadah haji ke tanah suci dan mendapat nama tambahan, Haji Muhammad Soeharto. Lalu dimulailah bulan madu umat Islam, mulai ada koran milik umat Islam Republika, berdirinya bank-bank syariah seperti Bank Muamalat, Festival Istiqlal, jilbab pun tiba-tiba jadi boleh dikenakan di SMA.
Waktu itu di Bosnia lagi ada serangan terhadap umat Islam oleh saudara mereka sendiri bangsa Serbia yang non muslim. Pak Harto malah berangkat ke Sarajevo ibu kota Bosnia mendirikan masjid dan membantu umat Islam disana.
Melunaknya Dakwah Keras
Maka dakwah yang keras-keras itu pun akhirnya melunak. Sudah tidak zamannya lagi menentang penguasa, karena penguasanya pun melunak. Ustadz-ustadz yang keras dan sedikit-sedikit men-thaghut-kan pemerintah, mulai kehabisan tema.
Saya sendiri saat itu sudah mulai terekrut masuk ke liqo' halaqah tarbiyah, yang esensinya tiap liqo' tidak lagi membahas masalah politik, tetapi lebih terarah kepada pembinaan aqidah, ibadah dan akhlaq. Aktifis dakwah kampus sudah tidak lagi bicara politik praktis menentang penguasa.
Dakwahnya sudah tidak keras lagi, tapi sudah mulai bicara tentang pembinaan pribadi muslim dengan syamil, kaffah, dan lebih kental nuansa aplikasi keislaman. Materi-materi tarbiyah lebih mengarahkan kepada Makna Syahadatain, Makrifatullah, Makrifaturrasul, Makrifatu Din Al-Islam, Makrifatul Insan, Tawazun dan seterusnya.
Nuansa Arab
Sedangkan materi yang isinya caci maki penguasa semakin kehilangan popularitasnya. Nuansa arabiannya lebih kental. Istilah-istilah yang kita gunakan banyak menggunakan istilah dalam bahasa Arab, seperti kata ana, antum, afwan, ikhwan-akhawat, marhalah, tanzhim, biah, istimror, mihwar, liqo, usrah, takwin, ta'sis, kafaah, madah, manhaj, fikrah, harakah, muhasabah, mabit, dan seterusnya.
Semangat berbahasa Arab juga semakin meluas di kalangan aktifis tarbiyah. Kuliah di LIPIA memang jadi idaman sekali. Nasyid Islami pun pakai bahasa Arab, masih tanpa musik dung-dung-dung. Kekuatannya justru di sastra arabnya.
Era Kejayaan Ma'had Islami
Para aktifis dakwah yang tidak tertampung masuk LIPIA, disediakan ma'had, semacam kursus pendalaman materi-materi keislaman, termasuk yang secara khusus mengajarkan bahasa Arab. Yang terkenal saat itu Ma'had Al-Hikmah pimpinan Ustadz Abdul Hasib, Lc di daerah Bangka Mampang Jaksel. Dilengkapi dengan Dirasat yang khusus hanya akhwat saja.
Maka dimana-mana bermunculan lah berbagai ma'had yang lain, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain di seluruh Indonesia. Bandung, Jogja, Semarang, Solo, Surabaya, Purwokerto, Medan, Makasar, dan lainnya. Pendeknya keberadaan ma'had ini sedikit banyak memang membantu tersebarnya ilmu-ilmu keislaman.
Jadi yang pada punya murabbi, tapi kapasitasnya rada tekor dalam materi keislamannya, mereka sangat dianjurkan untuk memperdalam ilmu-ilmu keislamannya lewat jalur ma'had-ma'had ini. Sebab yang jadi dosen pengajar memang mereka yang notabene lulusan dari Timur Tengah, LIPIA atau setidaknya sudah Lc. Lucunya, ada beberapa murobbi yang ikut juga belajar di ma'had-ma'had ini, sekelas dengan mad'unya. Kadang murabbinya nggak naik kelas, malah ma'u-nya naik kelas.
Di masa itu nampaknya arah tujuan tarbiyah memang jelas sekali untuk memperdalam ilmu agama. Jenjang karir dakwah kita amat ditentukan sejauh mana penguasaan ilmu-ilmu keislaman. Seorang aktifis dakwah yang mampu berbahasa Arab tentu akan jauh lebih dihormati.
LIPIA
Saya sendiri tidak mendaftar masuk ma'had, sebab saya sudah jadi mahasiswa LIPIA. LIPIA itu boleh dibilang jenjang paling ngetop dalam urusan per-ma'had-an. Kalau sudah kuliah di LIPIA, rasanya sudah berdarah biru dan rada ningrat.
Makanya saya sendiri rela bela-belain keluar dan berhenti kuliah di UGM, padahal sudah lewat 2 semester, untuk sekedar ingin bisa belajar di LIPIA yang nota-bene tempat kuliah idaman buat para aktifis dakwah saat itu.
Jadi untuk sekedar catatan, arah tarbiyah di zaman itu memang masih sejalan dengan keilmuan yang masih mendapatkan skala prioritas tinggi.
Reformasi
Arah pergerakan tarbiyah kemudian mulai agak bergeser terhitung sejak terjadinya reformasi di tahun 1998. Di awali dengan lengsernya Pak Harto, kemudian ruang gerak politik mulai terbuka dan muncul eforia berpartai. Tahun 1999 Partai Keadilan dideklarasikan, lalu semua aktifis tarbiyah menjadi pengurusnya.
Arah tarbiyah yang awalnya hanya semata-mata keilmuan, kemudian mulai perlahan bergeser ke arah perpolitikan. Awalnya masih seimbang, tapi lama-lama perubahannya semakin signifikan. Skala priorotas tarbiyah dan dakwah bukan lagi bagaimana membina kader agar menjadi orang-orang yang matang dalam keilmuan agama, tetapi bergeser kepada kepentingan-kepentinga politik praktis.
Ma'had-ma'had yang tadinya berjaya, mulai perlahan bubar dan rontok satu per satu ditinggalkan dosennya. Dosennya yang para ustadz Lc itu ternyata banyak yang mulai jadi anggota legislatif, sehingga mahasiswanya mulai keleleran bagai anak ayam kehilangan induknya.
Perliqoan yang seminggu sekali itu punya nasib yang sama, yang awalnya kental dengan nuansa keilmuan, perlahan bergeser menjadi forum debat politik praktis.
Ukuran keberhasilan tarbiyah mulai bergeser dari kemampuan keilmuan agama kepada kemampuan berpolitik praktis. Skala prioritas pergerakan pun bergeser menjadi segala yang bersifat memenangkan hajat politik.
Sikap Kritis
Disitulah saya kemudian mulai ambil sikap yang kritis. Saya tidak tertarik berpolitik praktis, selain memang sejak awal bukan cita-cita saya, saya merasakan bahwa dakwah dan perubahannya tidak ditentukan oleh kemenangan-kemangan yang bersifat politis.
Dalam pandangan saya, kemenangan dakwah itu justru harus diawali lewat tarbiyah taklimiyah itu sendiri. Sebab umat ini jadi jauh dari agama bukan karena faktor kalah di bidang politik. Umat ini jauh dari agama karena faktor keawaman mereka atas ilmu-ilmu keisalaman.
Maka yang harus kita lakukan bukan merebut kekuasaan, bukan bagaimana jadi anggota parlemen, dan bukan bagaimana membuat Undang-undang. Toh yang ada di jenjang kekuasaan atau di parlemen itu sebenarnya muslim-muslim juga. Presidennya muslim, para menteri kabinetnya juga muslim, para anggota legislatifnya baik di tingkat nasional, provinsi atau kabupaten mayoritas juga muslim. Yang non muslim ada juga, tapi tetap saja minoritas.
Jadi dalam pandangan saya, kalau pun kita ngotot mau merebut semua kedudukan itu lewat dakwah parlemen atau dakwah di bidang politik praktis, sebenarnya cuma mutar-mutar dari muslim ke muslim juga. Bedanya, dulu dikuasai oleh muslim dari kelompok tertentu, sekarang berpindah jadi dikuasai oleh muslim dari kelompok yang berbeda.
Pertarungannya sendiri sebenarnya bukan Islam lawan kafir, tapi Islam lawan Islam sendiri. Dari Islam kelompok A ke kelompok B, lalu direbut oleh kelompok C, D, E, F, G dan seterusnya.
Maka saya memandang betapa tidak efektifnya arah dakwah politik macam itu. Hanya menghabiskan energi saja, buang-buang waktu dan buang-buang potensi umat. Seharusnya kita berbagi tugas dengan sesama muslim lainnya, bukannya malah saling berebutan posisi kayak gitu.
Ngotot Dakwah Politik
Tapi pemegang tampuk kekuasaan gerakan dakwah ini nampaknya lagi bereforia dan berbulan madu dengan dakwah di jenjang kekuasaan. Alih-alih melakukan evaluasi, yang terjadi malah memaksakan semua barisan dakwah dan semua aktifisnya untuk terjun all-out ke dunia politik praktis.
Mottonya waktu itu tegas sekali : Al-Hizbu huwal Jama'ah wal Jama'atu Hiyal Hizbu. Partai itu adalah jamaah dan jamaah itu adalah partai.
Berdakwah itu harus lewat partai dan berpartai itu adalah berdakwah itu sendiri. Suatu kesatuan yang mutlak dan absolut, tidak boleh dikritisi apalagi dilawan. Siapa saja aktifis dakwah yang tidak menerima konsep manunggaling kawulo gusti macam itu, dipersilahkan minggir saja dari jamaah.
Maka mereka yang awalnya masih ragu untuk berdakwah lewat partai, semakin yakin untuk merengsek masuk ke dunia dakwah lewat partai politik.
Berpolitik Secara Masif
Para ustadz, murobbi, dan tokoh tarbiyah semuanya sibuk berjejal-jejal mencalonkan diri jadi anggota legislatif. Menang kalah tidak perduli, pokoknya mencalonkan diri dulu. Dan liqo'-liqo' mingguan sudah tidak lagi bicara materi-materi keislaman, tapi lebih kental nuansa perpolitikan. Masif dan fenomenal sekali.
Dan posisi saya termasuk yang 'tersingkir' dari hiruk pikuk macam itu. Meski saya tidak berkonfrontasi secara head to head, namun kereta semakin cepat melaju meninggalkan saya yang duduk tercenung di kursi peron stasiun. Ya, kereta rombongan sudah berangkat, dan saya duduk sendirian tidak ikut masuk di dalam gerbong.
Saya tidak pernah masuk gerbong itu, tidak pernah jadi pengurusnya, bahkan sebagai anggota pun juga tidak. Namun mereka tetap teman saya, tetap guru saya, tetap ikhwah juga. Meski saya punya pandangan sendiri yang dianggap tidak populer untuk saat itu. Tapi saya diam-diam saja, tidak lantas melawan atau menentang arus juga.
Saya tidak ikut-ikutan ribut melawan atau menantang arus seperti beberapa ustadz yang kemudian mulai tersingkir dan mental dari partai, dengan kasus masing-masing. Toh yang malu kita-kita juga kalau sesama aktifis berantem sendiri.
Mungkin saya ini lebih mirip ungkapan almarhum Ustadz Yusuf Supendi yang sering menyebut istilah muntaber alias mundur tanpa berita. Mundur dari dunia politik maksudnya.
Cuma kalau untuk kasus saya tidak ada istilah mundur. Sebab saya sendiri tidak pernah masuk bahkan untuk sekalipun. Mundurnya bukan dari perpolitikan, mundurnya dari liqo'-liqo' yang sudah jadi bagian dari mesin politik mewakili kelompok tertentu.
Kembali ke Habitat Asli
Tapi tidak mundur dari dunia dakwah dalam artinya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Rupanya yang butuh belajar agama bukannya berkurang tapi malah semakin banyak dan bertambah terus, meski tidak lewat jalur tarbiyahan seperti masa sebelumnya.
Sekian puluh elemen umat Islam masih banyak yang haus ilmu agama. Mereka berjejal-jejal berbaris bikin antrian panjang meminta waktu untuk belajar ilmu-ilmu keislaman. Mereka datang dari berbagai macam latar belakang kelompok umat Islam.
Sebagian kecilnya datang dari sisa-sisa eksponen tarbiyahan di masa lalu, mungkin sudah mulai rontok juga semangat dakwah parlemennya, mulai mempertimbangkan untuk kembali ke habitat aslinya, barangkali.
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Sumber FB : Ahmad Sarwat
14 Mei 2018 pukul 04.37 ·
1. Ustadz Rahmat Abdullah vs Dr. Salim Segaf Al-Jufri (#bag. 1)
2. Ustadz Rahmat Abdullah vs Dr. Salim Segaf Al-Jufri (#bag. 2)
3. Dari Dakwah Keras ke Era Tarbiyah (bag. 3, habis)
#islam
#tarbiyah