Kenapakah (La ilaha ill-Allah) ini yang merupakan titik-mula dalam seruan ini? Kenapakah hikmah Tuhan menghendaki bahwa seruan ini dimulai dengan kesusah-payahan ini?
Selanjutnya penulis menganalisa keadaan di semenanjung Arab pada masa awal Nabishollallahu ’alaih wa sallamdiutus. Ketika itu bangsa Arab sedang terpecah. Di sebelah utara mereka dijajah oleh kekuatan adidaya barat Romawi. Sedangkan di selatan mereka dijajah oleh kekuatan adidaya timur Persia. Mengingat posisi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang berasal dari salah satu suku Arab terpandang dan secara pribadi sebagai orang yang terkenal berwibawa dan punya track-record pernah dengan bijaksana mendamaikan pertikaian, tentulah bila sejak hari pertama da’wahnya beliau mengibarkan panji Nasionalisme Arab niscaya bangsa Arab akan segera menyambut seruannya dan menjadi dapat bersatu kembali. Demikian Sayyid Quthb menulis.
Rasulullah s.a.w. diutus dengan agama ini pada waktu tanah Arab yang tersubur dan terkaya tidak berada di tangan bangsa Arab, tetapi di tangan bangsa-bangsa lain.
Seluruh negeri Syam di utara tunduk kepada orang-orang Romawi, diperintah oleh pangeran-pangeran Arab untuk orang-orang Romawi. Seluruh negeri Yaman di selatan tunduk kepada Persia, diperintah oleh pangeran-pangeran Arab untuk orang-orang Persi. Yang berada di tangan bangsa Arab hanyalah Hijaz, Tihamah dan Najd, termasuk padang-padang pasir yang tandus, yang di sana-sini bertebaran wadi-wadi yang subur.
Barangkali dikatakan orang: Muhammad s.a.w. yang benar dan dipercayai, yang dijadikan hakim oleh pemuka-pemuka Quraisy sebelumnya dalam peristiwa perletakan Hajar Aswad, dan mereka rela dengan putusan yang telah dijatuhkannya, lima belas tahun sebelum datangnya risalah, Muhammad yang berada di puncak Bani Hasyim, yang tertinggi di kalangan Quraisy dipandang dari segi bangsanya, orang yang seperti ini tentu sanggup untuk mengobarkan Nasionalisme Arab dengan tujuan untuk mempersatukan suku-suku bangsa yang sedang dirobek-robek oleh permusuhan dan dikoyak-koyak oleh pertentangan, dan menjuruskannya kepada suatu arah nasional dengan tujuan untuk mengembalikan tanan-tanah yang telah dirampas dari imperium-imperium yang menjajah, Romawi di utara dan Persi di selatan, dan mengibarkan bendera Arab dan Arabisme, dan mendirikan suatu persatuan nasional di seluruh penjuru Semenanjung Arabia itu.
Tentulah jika Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berhasil mempersatukan bangsa Arab yang semula berpecah, maka beliau akan diberi hak memimpin dan berkuasa. Lalu beliau selanjutnya akan berpeluang memanfaatkan posisi tersebut untuk menanamkan aqidah Tauhid sesuai perintah Allah. Bukankah ini strategi yang lebih bijaksana? Daripada harus berkonfrontasi sejak hari pertama dengan bangsa sendiri, bukankah mengibarkan panji Nasionalisme Arab menjadi langkah yang bisa lebih mulus dan penuh maslahat? Ini menjadi catatan penulis kitab Petunjuk Jalan.
Barangkali ada yang mengatakan : Adalah sepantasnya bagi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam, setelah bangsa Arab memperkenankan seruannya dalam bentuk yang seperti ini, dan setelah menyerahkan pimpinan dan kekuasaan kepadanya, setelah ia mengumpulkan kekuasaan di tangannya dan kemuliaan di atas kepalanya, baru setelah itu ia mempergunakan semuanya ini untuk menanamkan aqidah tauhid yang dengannya ia telah diutus, menghambakan manusia kepada kekuasaan Tuhan mereka, setelah ia menghambakan mereka kepada kekuasaan manusiawi dirinya sendiri.
Tetapi Tuhan Yang Mahasuci, yaitu Yang Mahatahu dan Mahabijaksana, tidak mengarahkan RasulNya s.a.w. ke arah yang seperti ini, tetapi mengarahkannya kepada agar ia menjelaskan La ilaha illa-llah, dan agar ia bersama sejumlah kecil pengikut yang telah memperkenankan seruannya menanggung segala penderitaan ini.
Apakah Allah sengaja berkehendak memberi kesulitan kepada NabiNya dan para pengikutnya dari kalangan mu’minin? Mengapa sejak hari pertama mereka harus menempuh jalan yang menimbulkan respons penentangan begitu keras dari keluarga dan bangsa senidiri? Bukan, saudaraku, bukan itu maksud Allah. Sesungguhnya Allah bermaksud agar jangan sampai da’wah berkembang menjadi suatu seruan yang menyingkirkan tiran dari kalangan bangsa-bangsa tertentu untuk selanjutnya menghadirkan tiran baru dari kalangan bangsa yang semula berda’wah atas nama agama Allah itu sendiri. Padahal seruan Tauhid La ilaha ill-Allah justru mengandung makna pokok yaitu mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba (sesama manusia) untuk menghamba hanya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’aala.
Kenapa? Tuhan Yang Mahasuci tidak mau RasulNya dan orang-orang yang beriman kepadanya menderita. Tetapi Ia Yang Mahasuci mengetahui bahwa ini bukanlah jalannva. Jalannya bukanlah dengan melepaskan dunia dari tangan tiran Romawi atau tiran Persi ke tangan seorang tiran Arab. Tiran semuanya tiran. Bumi ini kepunyaan Allah, dan harus seluruhnya kepunyaan Allah. Dunia ini baru semuanya menjadi kepunyaan Allah kalau telah berkibar di sana bendera la ilaha illa-llah, yaitu dengan pengertian la la ilaha illa-llah yang dikenal oleh seorang Arab yang mengetahui pengertian bahasanya : yang berkuasa hanyalah Allah, hukum hanyalah yang datang dari Allah, seseorang tidak mempunyai kekuasaan terhadap orang yang lain karena kekuasaan itu seluruhnya kepunyaan Allah.
Bila bendera La ilaha ill-Allah yang dikibarkan sejak awal, maka berarti Nabi dan para sahabat telah menyingkirkan konsep kewarganegaraan primordial-primitif kepada suatu bentuk kewarganegaraan aqidah yang sahih bersumber dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sebaliknya bila panji Nasionalisme Arab yang dikibarkan sejak awal, maka tentunya akan menimbulkan kebanggaan fanatisme sempit kesukuan dan kebangsaan Arab yang mendiskriminasikan bangsa-bangsa selain Arab.
”Kewarganegaraan” yang dikehendaki oleh Islam untuk manusia adalah kewarganegaraan aqidah, di mana sama seorang Arab dengan seorang Romawi, seorang Persi, setiap jenis dan warna di bawah panji-panji Allah. Dan inilah jalannya.
Maka saudaraku, betapapun terlihat penuh kesukaran dan penderitaan, namun jalan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah merupakan jalan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam yang benar-benar menghasilkan manusia-manusia pilihan sejak hari pertama. Merekalah para kader da’wah sejati yang tidak mudah tergiur oleh berbagai kenikmatan dunia yang menipu, dan tidak mundur walau dihadapkan kepada berbagai ancaman dan siksaan.
Tidak ada sesuatupun dari sistim yang penuh berkat ini dapat direalisir pada tingkat yang tinggi seperti ini, selain dengan kalau da'wahnya dimulai dari permulaan ini, kalau tidak da'wah mengibarkan bendera ini saja, yaitu bendera La ilaha ill-Allah, yaitu satu-satunya bendera yang dikibarkan, dan jiwa da'wah tidak menempuh jalan yang sukar dan sulit pada lahirnya, penuh berkah dan mudah pada hakekatnya.
Marilah kita waspadai berbagai logika bersiasat dalam menempuh jalan da’wah yang seolah menawarkan lebih banyak maslahat sedikit mudharat namun sesungguhnya menyebabkan ummat tidak menempuh jalan sunnah Nabi dan para sahabatnya. Jalan yang sepertinya akan segera menghasilkan solidaritas dan persatuan nasional, namun tidak bakal pernah mewujudkan para kader da’wah sejati dan ummat yang hanya menghamba kepada Allah. Begitu pula, marilah kita waspadai logika keliru yang menyuruh para aktivis da'wah untuk berfikir meraih kekuasaan dan kepemimpinan terlebih dahulu selanjutnya barulah berda'wah terang-terangan kepada aqidah La ilaha ill-Allah. Suatu logika yang jelas-jelas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tolak sejak hari pertama.
Sumber : Catatan Yusuf Mansur Network (13 Juni 2010) Borneo
Gabung Yuk di Facebook Yusuf Mansur
#Religi
#Ustadz Yusuf Mansur