Dan dalam hidup ini, ada saja kemudian peristiwa yang kurang mengenakkan terjadi di dalam hidup kita. Sehingga kemudian jadilah kita bahagian orang yang malah tambah dekat dengan Allah, atau sebaliknya, malah meratapi dan menyumpahi hidup ini. Ada orang-orang yang Allah bukakan jalan kedekatan dengan-Nya, justru karena beban hidup yang bukan kepalang berat dan besarnya. Tapi ada yang bertambah jauh dengan Allah sebab kesulitan hidupnya. Begitulah. Hidup ini isinya barangkali hanya ada dua pilihan; jalan lurus dan jalan sesat; jalan syukur atau jalan kufur; jalan ibadah atau jalan maksiat.
Ada seorang yang merasa ga bisa memberi apa-apa buat orang tuanya, lalu bergaul dengan para hedonis dan mengambil “manfaat semu” dari sana. Ia berikan orang tuanya dunia. Tapi ia korbankan kehormatan dengan menjadi pelacur misalnya; baik pelacur bener maupun yang samar. Namun ada juga mereka-mereka yang ketika tidak bisa memberikan apa-apa ke orang tuanya lalu ia tempuh jalan anak-anak saleh untuk orang tuanya. Tidak ada dunia yang dibawa ke orang tuanya, tapi kebaikan demi kebaikan mengalir untuknya. Dan ini juga kelak akan menghasilkan cahaya dunia untuk dia dan orang tuanya.
Ada keluarga dan anak istri yang disuapi dari harta haram. Bahagia hidup bergelimang dunia tanpa keluarga dan anak istrinya sadar disuapi dari rizki haram. Kelak, banyak sekali masalah di keluarga ini. Salah satunya bisa saja justru keluarga ini bisa kehilangan sang suami. Atau suami yang kehilangan anak istri, sebab satu dua kejadian.
Ada orang miskin yang mengambil hak-hak orang dan menempuh jalan judi sebagai jalan yang bisa mengubah kemiskinannya. Banyak orang miskin yang kemudian menjadikan tangannya sebagai wasilah meminta-minta. Tidak sedikit orang miskin yang menjadi mitra tangan-tangan kotor lalu menyambung hidupnya dengan rizki kotor. Sebab itulah hidup mereka ini tetap miskin dan bertambah miskin. Kalaupun kemudian mereka-mereka ini kaya, mereka akan tetap miskin. Allah akan buat hidupnya selalu kurang dan tak terpuaskan. Bahkan tidak sedikit mereka yang jadi miskin lagi setelah mencicipi kekayaan, dan bertambah lagi dengan satu predikat: hina. Sudah miskin, hina. Misalnya sebab ketangkep, dipenjara, menderita satu penyakit, dan lain sebagainya.
Sementara itu, kita menemukan banyak juga orang miskin yang bertahan menjaga perutnya dari barang-barang yang haram. Ia kejar kemiskinannya itu dengan mempergiat bangun malam dan shalat dhuha. Ia prihatinkan diri dengan berpuasa sunnah. Dan ia jalankan hidup ini dengan ridha dan ikhlas. Bisa jadi hidupnya tetap miskin. Tapi Allah hadirkan ketenangan dalam hidupnya, rumah tangganya langgeng, rizkinya sedikit tapi jadi daging dan enak dimakan. Tidak berubah jadi penyakit. Petaka jarang sekali hadir di kehidupannya. Dan banyak kemudahan di tengah-tengah kekurangan; anak sakit, dikasih cepat sehat. Tanpa berobat. Anak kurang biaya, tapi Allah kirimkan beasiswa dari tangan orang lain. Tak punya kendaraan, tapi Allah hilangkan keperluan berkendaraan; bersaudara dekat-dekat, berkantor tinggal jalan kaki, dan lain-lain. Beda dengan sebagian dari kita, yang punya kendaraan, tapi Allah terbangkan ke sana kemari dengan kendaraannya itu, yang akhirnya malah bertambah-tambah jauh dari keluarga dan Allah. Bahkan Allah tambahkan kendaraan dengan kendaraan yang lebih hebat dan lebih mahal, yang malah menambah jauh dirinya dengan keluarga dan Allah.
Ada yang kepengen punya usaha, lalu mencari modal dari selain Allah. Sementara ada yang menggiatkan bangun malam dan dhuha, serta bersedekah. Ya, saya tidak sedikit menerima konselingan gagal bayar kredit. Usahanya halal, cara-cara usahanya benar. Ternyata sayang, di proses kreditnya, ada kebohongan dan suap. Banyak data dimanipulasi supaya kredit bisa cair, dan tidak jarang melakukan praktik suap walo sekedar dengan menjanjikan sesuatu bagi officernya. Atau ada yang prosesnya benar, ikhtiarnya benar, usahanya halal, tapi tetap bangkrut juga. Selidik punya selidik, shalat wajibnya jadi keteteran, shalat-shalat sunnahnya malahan jadi hilang. Hubungan dengan orang tua jadi jauh, dengan adik-adik malah tak ada silaturahim, dengan tetangga menjadi tak lagi dekat. Jika demikian, maka dicabut usahanya oleh Allah adalah jauh lebih baik. Sadari lagi saja, minta ampun sama Allah, dan ikhtiar lagi yang benar. Insya Allah, Allah akan berkenan memberi lagi apa yang dicabut-Nya. Ada di antara mereka yang bertahan tidak mengapa tidak diberi modal lagi untuk pengembangan usaha. Mereka merasa cukup. Sehingga tidak perlu mereka ini merekayasa laporan keuangan dan aset. Ternyata kemudian Allah berikan keselamatan buat mereka dan usahanya berkembang juga dengan izin dan takdir-Nya.
Ada orang yang kepengen kerja. Ia tempuh jalan-jalan kotor. Ia siapkan jalan pelicin. Dan tidak jarang perbuatannya itu yang melahirkan orang-orang kotor yang tadinya bersih. Pekerjaan ia dapatkan, namun keberkahan Allah hilangkan. Punya duit lebih dari tabungan setiap kali kerja, lalu Allah giring dia untuk membeli kendaraan. Baru sebulan dipake itu kendaraan, sudah mengantarkan maut untuk keluarganya. Mobil ringsek, keluarga celaka, uang terbuang sia-sia. Sementara ada yang meminta kepada Allah pekerjaan. Ia bertahan untuk tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membuat Allah murka. Ia minta sama Allah lewat jalan ibadah. Ada yang belum Allah berikan pekerjaan, namun Allah tetap tanggung rizkinya dan hidupnya tetap mulia. Ga jadi hina sebab tak ada pekerjaan. Saya pun tidak sedikit menemukan yang begini ini. Tidak kerja, namun Allah menyediakan keperluan hidup baginya. Ia tidak menjadi beban buat orang lain, sebab ia tidak meminta. Banyaklah keanehan dari matematika dan mekanisme hidup ini.
Dan ada sebagian kawan yang bertanya, apakah selalu begitu ya? Bahwa yang berbuat baik mesti berkehidupan baik dan yang jahat akan berkehidupan buruk? Bisa ya bisa engga. Pertama, silahkan kembali ke pembahasan materi tentang ukuran anugerah dan masalah. Apakah betul rentetan masalah bener-bener disebut masalah? Bukan anugerah? Dan apakah benar rentetan keberuntungan disebut anugerah? Bukan justru masalah? Kacatama dan ukurannya pakai kacamata dan ukuran yang benar. Sekedar menyegarkan ingatan, anugerah itu adalah jika kita bisa dekat dan ingat sama Allah. Sungguhpun kita berada di situasi-situasi yang menurut orang, berkehidupan buruk. Orang mukmin akan menimati sekali kedekatan dengan Allah, meskipun dia ini cacat, miskin, hina dina dalam pandangan orang, dan serba kekurangan. Orang mukmin tidak akan bahagia bila dia dipandang bagus, mulia, terpandang, kaya, berkecukupan, namun Allah jauh darinya. Dan kemudian sebaliknya, disebut masalah itu adalah jika kita hidup jauh dari Allah dan lupa sama Allah. Ini justru masalah. Maka jika kemudian kita-kita ini hidup banyak uang, karir pekerjaan dan usaha juga sedang bagus-bagusnya, tidak akan ada guna juga jika bener-bener jauh dan lupa sama Allah. Hanya akan membawa petaka saja. Jika ukuran dan kacamatanya sudah benar, maka seseorang tidak akan salah menilai.
Kedua, bukan karena amal kita, lalu ditentukanlah hidup enak atau tidak enak. Bukan. Semata karena Kehendak Allah. Tapi orang mukmin akan senantiasa berhusnudzdzan, bahwa apapun yang ditetapkan Allah, ia akan ridha, ikhlas, sabar, syukur. Termasuk mereka-mereka yang bertaubat. Dia akan menerima segala kesusahan, dengan pengalihan kepada ampunan dan kasih sayangnya Allah (lihat-lihat pembahasan sebelumnya yang berkaitan dengan ini ya).
Kita tidak sendirian. Hidup ini ada yang punya. Bahkan kalau Yang Punya Hidup ini menginginkan kita menjadi sulit, ya tidak mengapa juga. Dengan keyakinan bahwa DIA Maha Mengatur dan Berkehendak, insya Allah kesulitan yang DIA beri, akan Allah ubah sendiri menjadi kemudahan.
Ya. Di dalam ilmu tauhid, mengenal Allah sebagai pusat segala kendali, memegang peranan penting untuk membangun ketenangan dan kebahagiaan. Mereka yang mengenal Allah, akan bersedia diatur, terserah kehendak-Nya. Dan tidak ada yang mengucapkan “ia bersedia diatur”, kecuali yang benar-benar ikut dan tunduk akan seruan-Nya. Sebab ga bisa seseorang mengatakan, “Saya mah insya Allah pasrah Mas”. Tapi kemudian ia tidak bergegas memenuhi panggilan Allah. Tidak pula ia bisa mengatakan, “Saya mengikuti seruan Allah”, bila kemudian hidupnya tiada ada ibadah yang serius.
Maka tanda-tanda seseorang itu bertuhan Allah adalah manakala ia bertakwa; Sekuat mungkin menjalankan perintah-Nya, dan sekuat mungkin meninggalkan apa yang dilarang-Nya.
Sering saya katakan dalam banyak forum. Keberhasilan seseorang menuju hidup enak, berhasil menggenggam dunia, dan hidup tanpa masalah, adalah dengan hanya meniti jalan takwa ini. Dan keberhasilan seseorang keluar dari kesulitannya, sungguh, apabila ia mampu meniti jalan ini. Barangkali jalan ini sempat ia tinggalkan, tapi kemudian ia balik lagi. Maka orang-orang seperti ini yang Allah akan anugerahkan jalan keluar.
“Wa may yattaqillaaha yaj’allahuu makhrajaa. Wayarzuqhuu min haitsu laa yahtasib. Wa may yatawakkal ‘alallaahi fahuwa hasbuhuu. Innallaah baalighu amrihii. Qad ja’alallaahu likulli syai-in qadraa. Sesiapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan jadikan jalan-jalan keluar dari setiap kesulitannya dan menghadiahkannya dengan rizki yang tiada ia sangka-sangka. Dan barangsiapa yang memasrahkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya. Allah meliputi semua urusan. Sungguh Allah telah jadikan segala sesuatu itu ada ukurannya”. (Qs. ath Thalaaq: 2-3).
Sumber : Catatan Yusuf Mansur Network from Facebook Yusuf Mansur Network
#Religi