Berikut ini adalah beberapa etika yang perlu diperhatikan bagi orang yang berutang.
Pertama, saat hendak berutang, seseorang perlu mempunyai niat yang kuat untuk bisa membayarnya kelak saat jatuh tempo.
Kedua, dalam menjalankan transaksi utang-piutang dengan nominal yang cukup banyak, sebaiknya menghadirkan saksi atau ditulis dengan tandatangan kedua belah pihak supaya jika ada perselisihan antarkedua pihak bisa ditengahi oleh saksi atau tulisan tersebut—walaupun secara normatif dalam masalah ini kedudukan saksi atau tulisan hukumnya tidak sampai wajib menurut kacamata syari’at.
Ketiga, apabila sudah sampai pada waktu jatuh tempo dan mempunyai harta di luar persediaan makanan pokok dia dan keluarganya, utang harus dibayarkan sesuai prinsip dari Nabi bahwa menunda utang bagi orang yang mampu, merupakan sebuah kezaliman.
Keempat, jika sudah jatuh tempo dan belum membayar, dan pemberi utang mencekal supaya tidak pergi jauh, ia wajib mematuhi. Bepergian bisa menimbulkan kekhawatiran kreditur karena ada potensi utang tidak terbayarkan.
Kelima, pemilik utang harus mempersilakan seandainya pemberi utang ingin menginap di rumah atau bahkan mengikutinya ke mana-mana karena dia mendapatkan hak tersebut selama sudah sampai waktu jatuh tempo. Hal ini penting diperhatikan bagi para pemilik utang untuk memberikan ruang penagih, bukan malah membentak penagihnya (creditor).
Keenam, apabila sudah jatuh tempo, pemilik utang belum kuat membayar sedangkan ia misalnya hutang benda berupa sepeda motor, lalu di rumahnya terdapat aset sepeda motor yang sejenis, maka sepeda motor tersebut boleh ditarik melalui putusan pengadilan
Ketujuh, orang yang utang perlu berpikir bagaimana beratnya orang enggan melunasi utang sehingga meninggal dengan masih menyisakan utang. Banyak hadits yang menjelaskan hal ini. Di antaranya dalam sebuah kisah yang diceritakan oleh al-Akwa’ dalam hadits Bukhari.
#nahdlatululama #nuonline #nuonline_id #etika #islam #muslim #hutang #akhlaq
Sumber Instagram : @nuonline_id