Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)

30. Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)

MARHABAN YA RAMADHAN

10 Ramadhan 1442 H - 22 April 2021

Oleh: Isnan Ansory

Pembatal puasa kedua adalah makan, minum atau masuknya sesuatu ke dalam tubuh melalui rongga-rongga tubuh. Para ulama sepakat bahwa makan dan minum termasuk hal-hal yang membatalkan puasa, berdasarkan firman Allah - ta’ala -:

وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (البقرة: 187)

“...Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (QS. Al-Baqarah : 187)

Ayat ini menjelaskan bahwa dibolehkan untuk makan dan minum di malam hari sebelum terbitnya fajar di bulan Ramadhan. Sehingga pengertian terbaliknya (mafhum) adalah makan dan minum merupakan hal yang terlarang untuk dilakukan ketika sudah masuk waktu fajar.

Para ulama juga sepakat bahwa makan dan minum yang dapat membatalkan puasa adalah jika dilakukan secara sengaja, dan bukan karena lupa.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ» (متفق عليه)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: Siapa saja yang makan karena lupa, padahal ia sedang berpuasa, maka hendanya ia melanjutkan puasanya, karenanya sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum. (HR. Bukhari Muslim)

Terkait batalnya puasa Ramadhan karena sebab makan atau minum, para ulama menegaskan bahwa illah (alasan) batalnya puasa karena sebab masuknya sesuatu ke dalam tubuh. Atas dasar ini, para ulama menetapkan sejumlah pembatal puasa yang didasarkan kepada alasan ini.

Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait rincian atas standar masuknya sesuatu ke dalam tubuh yang dapat membatalkan puasa, beserta konsekuensi yang harus dilakukan. Di mana setidaknya, kasus-kasus pembatal puasa yang didasarkan kepada pembatal masukanya sesuatu ke dalam tubuh, dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama: masuknya sesuatu ke dalam tubuh melalui rongga mulut. Kedua: masuknya sesuatu ke dalam tubuh melalui rongga selain mulut. 

1) Sesuatu Masuk Ke Tubuh Melalui Rongga Mulut

Masuknya sesuatu ke dalam rongga mulut saat berpuasa dapat dihukumi secara berbeda, ada yang bisa menyebabkan batalnya puasa dan ada pula yang tidak sampai menyebabkan batalnya puasa. 

Berikut penjelasan rinci terkait hukum berpuasa ketika masuknya sesuatu ke tubuh melalui rongga mulut.

a) Tidak Batal Jika Sebatas Memasuki Mulut

Para ulama sepakat bahwa perkara yang membatalkan puasa atas sebab masuknya sesuatu melalui rongga mulut jika sampai melewati batas tenggorokan. Karena itu, jika makanan, minuman ataupun benda-benda lainnya baru sebatas memasuki mulut, lidah, bibir, langit-langit mulut dan gigi, namun belum memasuki tenggorokan, maka hal tersebut tidak sampai membatalkan puasa. Seperti jika sekedar berkumur-kumur, menggosok gigi atau mencicipi masakan.

Ketentuan ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فَقُلْتُ: صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا، قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ؟» قُلْتُ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «فَفِيمَ؟». (رواه أحمد)

Dari Umar bin al-Khatthab - radhiyallahu ‘anhu -, dia berkata: Pada suatu hari hasyratku (syahwatku) bergejolak, kemudian mencium (istri) padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang menemui Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - dan mengatakan: Hari ini aku melakukan suatu perbuatan (kesalahan) yang besar, aku mencium (istri) padahal sedang berpuasa. Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - menjawab: “Apa pendapatmu apabila kamu berkumur-kumur dengan air padahal kamu sedang berpuasa?.” Aku menjawab: Hal itu tidak mengapa (tidak membatalkan puasa). Kemudian Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Lalu dimana masalahnya?.” (HR. Ahmad)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: لَا بَأْسَ أَنْ يَتَطَاعَمَ الصَّائِمُ بِالشَّيْءِ، يَعْنِي الْمَرَقَةَ وَنَحْوَهَا (رواه عبد الرزاق)

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Tidak mengapa seorang yang berpuasa mencicipi sesuatu. Maksudnya mencicipi semacam kuah makanan. (HR. Abdur Razzaq)

عن ابن عباس - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - قال: «لا بأس أن يذوق الخل أو الشيء، ما لم يدخل حلقه وهو صائم» (أخرجه ابن أبي شيبة والبيهقي)

Dari Ibnu Abbas - radhiyallahu ‘anhu -, ia berkata: Tidak mengapa seseorang mencicipi kuah makanan atau suatu makanan, selama tidak sampai tertelan ke tenggorokan, saat ia berpuasa. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi)

Para ulama juga sepakat bahwa bersiwak juga tidak membatalkan ibadah puasa. Meskipun menurut Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, hukumnya menjadi makruh jika dilakukan setelah melewati waktu zhuhur. Sebab siwak tersebut akan menghilangkan bau mulut yang khas dari orang yang berpuasa. Padahal bau mulut orang yang berpuasa memiliki keistimewaan tersendiri di sisi Allah - ta’ala -. Pendapat ini mereka dasarkan kepada hadits berikut: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «لَخَلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الِمسْكِ» (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah - radhiyallahu ‘anhu -: Nabi - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bau mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari aroma kesturi”. (HR. Bukhari)

Adapun Mazhab Hanafi dan Maliki, mereka berpendapat bahwa bersiwak bagi yang berpuasa tidaklah makruh secara mutlak, pada waktu apapun hendak dilakukan.

Dan berdasarkan kesepakatan ini, lembaga-lembaga fatwa dunia seperti Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Dar al-Ifta’ Mesir, al-Lajnah ad-Da’imah li al-Ifta’ Arab Saudi dan lainnya, menetapkan fatwa bahwa menggosok gigi menggunakan pasta gigi atau pembersih mulut lainnya saat berpuasa tidaklah membatalkan puasa. Selama benda-benda tersebut tidak sampai memasuki batas tenggorokan.(1) 

b) Mengkonsumsi Makanan Secara Normal & Sengaja

Para ulama sepakat akan batalnya puasa seseorang jika memakan atau meminum sesuatu yang dimasukkan secara normal melalui mulut dan tenggorokan dengan sengaja. Sebagaimana makanan yang dimaksud juga adalah sesuatu yang memang secara normal menjadi benda yang dikonsumi oleh manusia pada umumnya, seperti nasi, lauk pauk, sayuran, air tawar, sari buah dan sejenisnya. 

Para ulama juga sepakat bahwa konsekuensi dari batalnya puasa karena makan atau minum dengan sengaja adalah wajibnya mengqodho’ puasa yang batal tersebut di hari yang lain. Namun mereka berbeda pendapat, apakah juga diwajibkan membayar kaffarat sebagaimana wajibnya kaffarat atas batalnya puasa karena sebab hubungan seksual.

Mazhab Pertama: Qodho’ dan kaffarat. 

Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa seorang yang membatalkan puasanya dengan mengkonsumsi benda yang layak konsumsi secara sengaja, diwajibkan untuk menggantinya dengan qodho’ dan kaffarat sekaligus. Di mana mereka memahami bahwa hadits tentang penunaian kaffarat oleh shahabat yang melakukan hubungan seksual saat berpuasa Ramadhan, dimaksudkan bukan karena sebabnya sekedar jima’. Namun, terkait puasa yang dibatalkan secara sengaja dengan memenuhi syahwat. Apakah syahwat seksual ataupun syahwat perut.

Imam Hasan bin Ammar asy-Syurunbulali al-Hanafi (w. 1069 H), berkata dalam kitabnya, Nur al-Iydhah wa Najah al-Arwah:(2)

إذا فعل الصائم شيئا منها طائعا متعمدا غير مضطر لزمه القضاء والكفارة وهي: ... والأكل والشرب سواء فيه ما يتغدى به أو يتداوى به.

Jika orang yang berpuasa melakukan sesuatu secara sengaja dan bukan terpaksa, maka wajiblah ia mengqodho’nya dan membayar kaffarat, yaitu: ... dan makan minum, apakah untuk menghilangkan lapar dan dahaga atau sebagai obat.

Imam Ibnu Juzai al-Maliki (w. 741 H) berkata dalam kitabnya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah:(3) 

تجب الْكَفَّارَة بِالْأَكْلِ وَالشُرْبِ عَمدًا خِلَافًا للشَّافِعِيّ والظاهرية وَفِي مَعْنَاهُ كل مَا يصل إِلَى الْحلق من الْفَم خَاصَّة.

Wajib membayar kaffarat atas sebab makan dan minum secara sengaja. Dan pendapat ini diselisihi oleh asy-Syafi’i dan azh-Zhahiriyyah. Dan termasuk makna dari makan dan minum adalah masuknya sesuatu ke dalam rongga tenggorokan melalui mulut secara khusus.

Mazhab Kedua: Qodho’ saja. 

Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa yang diwajibkan hanyalah qodho’ saja. Di mana mereka menolak pemahaman kalangan Mazhab Hanafi dan Maliki terkait sebab diwajibkannya kaffarat karena pemenuhan syahwat secara sengaja. Dalam hal ini, mereka berpendapat bahwa hadits kaffarat secara khusus hanya ditetapkan atas sebab hubungan seksual yang sengaja dilakukan oleh orang yang berpuasa wajib.

Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, Minhaj ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin fi al-Fiqh:(4) 

فلا كفارة على ناس ولا مفسد غير رمضان أو بغير الجماع ولا مسافر جامع بنية الترخص.

Tidak ada kaffarat atas sebab lupa, batalnya puasa selain Ramadhan, atau batalnya puasa Ramadhan selain sebab jima’ (hubungan seksual) dan musafir yang menggauli istrinya di siang Ramadhan dengan niat uzur tersebut.

Imam Mar’i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033) berkata dalam kitabnya, Dalil ath-Thalib li Nail al-Mathalib:(5) 

ولا كفارة في رمضان بغير الجماع والإنزال بالمساحقة.

Tidak ada kaffarat atas puasa Ramadhan, selain karena sebab hubungan seksual atau keluarnya mani karena sahaq (homo seksual atau lesbian).

c) Batalnya Puasa Karena Kemasukan Benda Ke Tenggorokan 

Para ulama umumnya juga sepakat akan batalnya puasa seseorang yang kemasukan sesuatu ketubuhnya melalui tenggorokan meskipun benda-benda tersebut tidak normal untuk dikonsumsi oleh manusia, seperti batu, tanah, bensin, gabah dan semacamnya. Termasuk dalam hal ini adalah asap yang sengaja ditelan, seperti orang yang merokok secara aktif. 

Demikian pula, umumnya mereka sepakat bahwa konsekuensi dari batalnya puasa karena sebab-sebab tersebut hanyalah dengan cara menqodho’ puasa pada hari yang lain.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(6) 

إذا ابتلع الصائم مالا يُؤْكَلُ فِي الْعَادَةِ كَدِرْهَمٍ وَدِينَارٍ أَوْ تُرَابٍ أَوْ حَصَاةٍ أَوْ حَشِيشًا أَوْ نَارًا أَوْ حَدِيدًا أَوْ خَيْطًا أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ أَفْطَرَ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَدَاوُد وَجَمَاهِيرُ الْعُلَمَاءِ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ.

Jika orang yang berpuasa menelan sesuatu yang bukan makanan secara umum, seperti menelan uang dirham atau dinar, atau menelan tanah, kerikil, rumput, api, besi, benang dan semisalnya, maka puasanya batal tanpa adanya perselisihan di antara kami (asy-Syafi’iyyah). Dan ini juga merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Dawud serta mayoritas ulama dari kalangan salaf maupun kholaf.

Hanya saja, jika benda yang masuk itu adalah benda yang sulit untuk dihindari, seperti debu jalanan, atau lalat yang masuk ke mulut tanpa disengaja, dan semisalnya, maka puasanya tetap sah.

Imam Ibnu Juzai al-Maliki (w. 741 H) berkata dalam kitabnya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah:(7) 

فِي الطَّعَام وَالشرَاب يجب الْإِمْسَاك عَنْهُمَا إِجْمَاعًا وَيفْطر إِجْمَاعًا بِمَا يصل إِلَى الْجوف بِثَلَاثَة قيود (الأول) أَن يكون مِمَّا يُمكن الإحتراز مِنْهُ فَإِن لم يكن كالذباب يطير إِلَى الْحلق وغبار الطَّرِيق لم يفْطر إِجْمَاعًا.

Makan dan minum: wajib menahan diri dari keduanya berdasarkan ijma’, dan para ulama juga sepakat bahwa masuknya sesuatu ke rongga tubuh dapat membatalkan puasa dengan 3 syarat. Pertama: sesuatu yang umumnya bisa dihindari. Namun jika tidak bisa dihindari seperti lalat yang terbang lalu masuk ke tenggorokan atau seperti debu jalanan, maka puasanya tidaklah batal berdasarkan ijma’.

---

Di samping itu, para ulama juga berbeda pendapat dalam beberapa masalah, terkait dengan masuknya sesuatu melalui rongga mulut, apakah dapat membatalkan puasa atau tidak.

(1) Semprot Asma

Para ulama berbeda pendapat, apakah obat asma yang biasa disemprotkan bagi penderita asma ke dalam mulutnya, dapat membatalkan puasa atau tidak.

Mazhab Pertama: Tidak membatalkan puasa.

Sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad al-’Utsaimin, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, Dr. Haitsam Khayyath, Syaikh Abdullah al-Bassam, Syaikh Faishal Maulawi, Dr. Ahmad al-Khalil, dan Lajnah Dai’mah li al-Ifta’ Kerajaan Saudi Arabi,  berpendapat bahwa obat asma yang disemprotkan ke dalam mulut tidaklah membatalkan puasa.(8)

Mazhab Kedua: Membatalkan puasa.

Sebagian ulama kontemporer lainnya seperti Syaikh Muhammad al-Mukhtar as-Sulaami (Mufti Tunisia), Syaikh Mahmud Abdul Lathif ’Uwaidhah, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Taqi al-’Utsmani, dan Syaikh Fadhl Hasan ’Abbas,  berpendapat bahwa obat asma yang disemprotkan ke dalam mulut dapat membatalkan puasa.(9)

(2) Penggunaan Endoskop (Minzhor al-Ma’idah) Via Tenggorokan

Endoskop adalah alat yang digunakan dalam proses endoskopi, yaitu salah satu prosedur pemeriksaan medis untuk melihat kondisi saluran pencernaan dengan menggunakan alat endoskop yang merupakan suatu alat berbentuk seperti selang elastis dengan lampu dan kamera optik di ujungnya. Secara teknis, endoskop dimasukkan lewat celah tubuh yang terbuka seperti mulut dan vagina.

Endoskopi dinamakan bergantung pada bagian tubuh yang digunakan. Seperti artroskop, yang digunakan untuk melihat sambungan tulang (sendi). Bronkoskop, yang digunakan untuk melihat jalur nafas dan paru-paru. Sitoskop, yang digunakan untuk melihat kantung kemih. Dan laparoskop, yang digunakan untuk melihat secara langsung ovari, usus buntu dan organ abdominal lainnya. 

Jika melihat sistem kerjanya, dapat ditegaskan bahwa penggunaan endeskop yang dimasukkan via tenggorokan jika dikaitkan sebagai pembatal puasa, dapat diqiyaskan kepada perselisihan ulama tentang batanya puasa seorang yang kemasukan melalui tenggorokannya benda-benda padat dan keras yang tidak secara langsung memberi asupan makanan untuk tubuh. Seperti batu, biji-bijian non konsumtif, benang, tali temali, dan lainnya.

Terkait tertelannya benda-benda tersebut, mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali), berpendapat bahwa hal itu secara mutlak termasuk pembatal puasa. Sedangkan Mazhab Hanafi, mensyaratkan untuk batalnya puasa, jika benda tersebut masuk ke tubuh dan tidak dapat dikeluarkan kembali melalui tenggorokan.

Berdasarkan pertimbangan khilafiyyah para ulama klasik tersebut, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah penggunaan endeskop bagi orang yang berpuasa dapat membatalkan puasanya. Dalam hal ini, setelah mereka sepakat bahwa jika endeskop dimasukkan ke dalam tenggorokan bersamaan dengan benda lainnya seperti obat tertentu, maka hal ini disepakati dapat membatalkan puasa.

Mazhab Pertama: Puasa batal.

Sebagaian ulama kontemporer seperti Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Tawfiq al-Wa’iy, dan Syaikh Mahmud ‘Uwaidhah, berpendapat bahwa setiap benda yang masuk ke tenggorokan dapat membatalkan puasa secara mutlak, apakah alat endeskop tersebut steril dari benda lain semacam cairan obat tertentu, ataupun dimasukkan bersama obat tertentu.(10) 

Mazhab Kedua: Tidak membatalkan puasa.

Sebagian ulama kontemporer lainnya seperti Syaikh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Syaikh al-‘Utsaimin, Syaikh al-Qaradhawi, Syaikh al-Mukhtar as-Sulami, dan Syaikh ash-Shiddiq adh-Dharir, berpendapat bahwa puasa tidaklah batal jika endeskop dimasukkan secara steril dari benda-benda lain. (11) 

(3) Tablet (al-Aqrash al-’Ilajiyyah) Untuk Penyakit Organ Jantung Yang Diletakkan di Bawah Lidah

Dalam dunia medis dikenal sejenis obat berbentuk tablet yang diletakkan di bawah lidah, yang berfungsi untuk melebarkan dinding pembuluh darah dalam rangka memperlancar jalannya oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh sel otot-otot jantung. Di mana obat ini sangat bermanfaat bagi penderita serangan jantung yang pembuluh darah koronernya mengalami penyempitan. Obat ini dikenal dengan nama cedocard atau isosorbid dinitrate atau disingkat dengan ISDN. 

Terkait apakah penggunaan obat ini dapat membatalkan puasa atau tidak, pada umumnya para ulama kontemporer mendasarkannya pada apakah sesuatu yang masuk ke dalam mulut membatalkan puasa atau tidak. Dan secara umum, para ulama klasik sepakat bahwa, jika benda tersebut tidak sampai tertelan seluruhnya atau sebagiannya ke dalam tenggorokan, maka puasanya tidaklah batal.(12) 

Sebagaimana ketentuan hukum ini, telah dikukuhkan pula oleh Majma’ al-Fiqh al-Islamy dalam Nadwah Thibbiyyah Fiqhiyyah yang diselenggarakan di ad-Dar al-Baidha’ pada tanggal 14-17 Juni 1997. 

--------------------------

(1) Abdur Razzaq al-Kindi, al-Mufatthirat al-Mu'ashirah: Dirasah Fiqhiyyah Thibbiyyah Mu’ashirah, (Riyadh: Dar al-Haqiqah al-Kauniyyah, 1435/2014), cet. 1, hlm. 202.

(2) Hasan bin Ammar asy-Syurunbulali al-Hanafi, Nur al-Iydhah wa Najah al-Arwah, (t.t: al-Maktabah al-Ashriyyah, 1246/2005), hlm. 133.

(3) Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki, al-Qawanin al-Fiqhiyah, hlm. 83.

(4) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin wa Umdah al-Muftin fi al-Fiqh, (t.t: Dar al-Fikr, 1425/2005), cet. 1, hlm. 78.

(5) Mar’i bin Yusuf al-Karmi, Dalil ath-Thalib li Nail al-Mathalib, (Riyadh: Dar Thayyibah, 1425/2004), cet.1, hlm. 95.

(6) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/317.

(7) Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki, al-Qawanin al-Fiqhiyah, hlm. 80.

(8) Abdul Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, (Riyadh: Ri’asah Idarah al-Buhuts al-’Ilmiyyah wa al-Ifta’, 1420 H), hlm. 15/265, Syaikh Muhammad al-’Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasa’il asy-Syaikh al-’Utsaimin, hlm. 19/210, Yusuf al-Qaradhawi, www.qaradawi.net, Haitsam Khayyath, al-Mufatthirat fi Dhau’i ath-Thibb al-Hadits, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, No. 10, hlm. 2/287, Abdullah al-Bassam, Tawdhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, (Mekkah: Maktabah an-Nahdhah al-Haditsah, 1414/1994), cet. 2, hlm. 3/171, Faishal Maulawi –wakil ketua majlis fatwa Eropa-, www.mawlawi.net, Ahmad al-Khalil, Mufatthirat ash-Shiyam al-Mu’ashirah, (Dammam: Dar Ibnu al-Jauzi, 1425/2005), cet. 1, hlm. 33.

(9) Mahmud Abdul Lathif ’Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam ash-Shiyam, (t.t: Mu’assasah ar-Risalah, 2005), cet. 2, hlm. 247, Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, hlm. 3/1719, Bahts al-Mufatthirat: Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islami, No. 10, hlm. 2/33, Fadhl Hasan ’Abbas, at-Tibyan wa al-Ittihaf fi Ahkam ash-Shiyam, (Amman: Dar al-Furqan, 1416/1996), cet. 2, hlm. 112.

(10) Lihat: Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islamy, No. 10, hlm. 2/376, Tawfiq al-Wa’iy, al-Mursyid al-Islamy fi al-Fiqh ath-Thibby, (Manshurah: Dar al-Wafa’, 1410/1990), cet. 4, hlm. 34-35, ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam ash-Shiyam, hlm. 247.

(11) Al-‘Utsaimin, Syarah al-Mumti’ Syarah Zad al-Mustaqni’, (t.t: Dar Ibnu al-Jauzi, 1428), hlm. 6/371, Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh ash-Shiyam, hlm. 74, Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islamy, No. 10, hlm. 288.

(12)  As-Sarakhsi al-Hanafi, al-Mabsuth, hlm. 3/93, al-Hathab al-Maliki, Mawahib al-Jalil Syarah Mukhtashar Khalil, hlm. 1/135, an-Nawawi asy-Syafi’i, al-Majmu’, hlm. 6/328, Ibnu Qudamah, asy-Syarah al-Kabir, 3/44.

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

22 April 2021

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Pembatal Puasa : Makan Minum (Pertama)". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait