Oleh: Abdul Wahid Al-Faizin
Ada tiga kondisi seseorang dalam hal ini, yaitu:
Pertama, ketika dia dalam kondisi kaya lebih bisa istiqamah dan terjaga agamanya dan sebaliknya ketika dia fakir lebih tidak bisa menjaga agamanya, maka ulama' sepakat kaya bagi dia lebih baik.
Kedua, ketika dia dalam kondisi fakir lebih bisa istiqamah dan terjaga agamanya dan sebaliknya ketika dia kaya lebih berpotensi rusak agamanya, maka ulama' sepakat fakir bagi dia lebih baik.
Ketiga, ketika dalam kondisi fakir dia mampu menjaga agamanya dengan ridha dan sabar dan ketika dalam kondisi kaya juga bisa menunaikan haknya dengan berbagi dan berbuat baik, maka ulama' berbeda pendapat dalam hal ini.
Menurut ulama' fiqh dan hadis kaya yang bersyukur lebih utama karena melihat sisi peluang bertambahnya pahala di dalamnya. Di mana kemaslahatan darinya bisa lebih besar dan menyebar pada yang lainnya. Sedangkan menurut ulama' Tashawwuf orang fakir yang sabar lebih utama karena melihat sifat nafsu. Di mana kefakiran bisa menyucikan nafsu dari sifat sombong dan penyakit lainnya...
Qultu : pilihan di atas adalah kalau kita bisa milih. Bagi kita yang tidak bisa memilih ya tinggal ikuti takdir saja sambil tetap ikhtiar. Jika memang ditakdirkan fakir, maka harus memaksakan diri ridha dan sabar. Jika memang ditakdirkan kaya, maka dinikmati sambil bersyukur... 😀
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahid Alfaizin
17 Maret 2021 pukul 15.09 ·