Hukum Syar'i ungkapan Illa Rasulullah
Fatwa Dairatul Ifta al-Am Yordania
Tertanggal: 28-02-2021
Saya Nur Hasim cuma menerjemah.
الموضوع : دلالة عبارة "إلا رسول الله"
Pokok bahasan: Dilâlah ungkapan "Illâ Rasûlullâh" (Kecuali Rasulullâh)
السؤال:
انتشر على وسائل التواصل الاجتماعي عبارة (إلا رسول الله)، وقد كثُر الجدل حولها، فما الحكم الشرعي في هذه العبارة، وهل هي خاطئة؟
Pertanyaan:
Tersebar di media sosial ungkapan "Illâ Rasûlullâh" dan banyak perdebatan seputar ungkapan itu. Lantas, Apa hukum syar'i ungkapan ini, apakah ungkapan ini salah?
الجواب:
Jawaban Dairatul Ifta al-'âm Yordania:
الحمد لله، والصلاة والسلام على سيدنا رسول الله
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpah pada Sayyidinâ Rasûlillâh.
انتشرت كلمة (إلا رسول الله) على لسان المدافعين عن الرسول صلى الله عليه وسلم، وهي تظهر الحب العميق الذي يستشعره المسلمون تجاه نبيهم صلى الله عليه وسلم، ومدى حرقتهم في الدفاع عنه، والذبّ عن جنابه الشريف، فصارت هذه الكلمة شعاراً يوحّد المسلمين على اختلاف مذاهبهم وآرائهم وأجناسهم على هدف عظيم، وهو الدفاع عن النبيّ صلى الله عليه وسلم الذي هو رمز الإسلام والرسالات السماوية، والمبعوث من الله تعالى للخلق كافة حجة عليهم وهادياً لهم إلى أقوم طريق.
Tersebar kalimat "Illâ Rasûlullâh" dari lisan para pembela Rasulullah ﷺ, yaitu kalimat yang menunjukkan rasa cinta mendalam yang dirasakan kaum muslimin kepada Nabi ﷺ, sepanjang mereka tersulut dalam membela Nabinya, dan membela kehormatan Nabi, sehingga kalimat ini menjadi slogan yang menyatukan kaum muslimin meski berbeda madzhab, pemikiran, maupun kewarganegaraan mereka pada tujuan agung yaitu membela Nabi ﷺ yang menjadi simbol Islam dan risalah samawi dan utusan Allah terhadap seluruh makhukNya, sebagai hujjah mereka, dan sebagai penunjuk mereka pada jalan yang benar.
وأمّا هذا الشعار من الناحية اللغوية؛ فلا إشكال فيه؛ فكلمة (إلا رسول الله) حُذف منها المستثنى منه وعامله اختصاراً، وهذا ما يُسمى في علم النحو بالاستثناء المُفرغ؛ وهو الاستثناء الذي حُذف منه المستثنى منه، ولا يكون إلا في النفي وشبهه عند النحاة، جاء في [أوضح المسالك 2/ 222]: "فإذا استثني بـ "إلا"، وكان الكلام غير تامّ، وهو الذي لم يذكر فيه المستثنى منه، فلا عمل لـ "إلا"، بل يكون الحكم عند وجودها مثله عند فقدها، ويسمى استثناءً مفرغاً، وشرطه: كون الكلام غير إيجاب، وهو: النفي نحو: {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ}"، وإذا قدر الكلام موجباً لا منفياً فلها توجيه آخر، لكن مقصودنا هنا أنّ لها وجهاً لغوياً صحيحاً في الجملة.
Adapun slogan ini jika ditinjau dari sisi linguistik, maka tak ada masalah, karena redaksi illâ Rasûlullâh mustatsnâ minhunya dihilangkan dan 'âmilnya disingkat. Dalam ilmu Nahwu, hal ini disebut dengan istitsnâ al-mufarragh, yaitu istitsnâ' yang dihilangkan mustatsna minhunya dan tidak terjadi kecuali dalam redaksi nafi (kalimat negatif) dan syibhnya menurut para pakar Nahwu . Tersebut dalam kitab Audhahul Masâlik (2/222):
Ketika dikecualikan dengan kata illâ, sementara kalimat itu tidak sempurna, dalam arti tidak disebutkan mustatsna minhunya, maka tidak ada amal bagi illâ, bahkan hukumnya ketika adanya mustatsna minhu itu sama seperti ketika mustatsna minhu itu tidak ada, dan (hal ini) disebut dengan istitsna mufarragh, dengan syarat:
Kalimat itu bukanlah kalimat îjâb (positif), tetapi kalimat nafi (negatif), misalnya:
وما محمد الا رسول
Dan tidaklah Muhammad itu melainkan seorang Rasul
Dan jika diperkirakan kalimat itu sebagai kalimat positif, bukan kalimat negatif, maka ada petunjuk lain, tetapi maksud kami di sini bahwa terhadap redaksi itu ada sisi linguistik yang benar pada frasenya.
وتقدير الكلام المحذوف على هذا الوجه: "ما لنا إلا رسول الله"، والمعنى المقصود بهذا الاستثناء تعظيم حرمة النبي صلى الله عليه وسلم والدفاع عنه، وإثبات توليه بالمحبة والتعظيم والتشريف والتكريم، وليس المراد أننا لا نتولى أحداً مطلقاً غير الرسول صلى الله عليه وسلم، بل نحن نتولى الله ورسوله والمؤمنين وكلّ من له حقّ، فينبغي أن يُحمل الكلام المُقدر السابق على المعنى المجازي، ويسمى ذلك عند علماء البلاغة بالقصر الادعائي أو المجازي، كقولهم: "لا سيف إلا ذو الفقار".
Dan perkiraan kata yang dihilangkan pada sisi ini adalah
ما لنا إلا رسول الله
Kami tak memiliki (siapapun) kecuali Rasululullah
Dan makna yang dikehendaki dengan pengecualian ini adalah mengagungkan kehormatan Nabi ﷺ , membelanya, menegaskan kepedulian pada beliau dengan penuh-cinta, pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan. Hal itu bukan berarti kita tidak peduli pada siapapun selain Rasul ﷺ, bahkan kita juga peduli pada Allah, RasulNya, kaum mu'minin, dan siapapun yang berhak. Karena itu, seyogyanya memahami kalimat yang diperkirakan sebelumnya itu pada makna majazi dan hal itu oleh Ulama al-Balaghah disebut dengan qashr al-Idi'âi atau majazi, seperti perkataan mereka: Tak ada pedang kecuali dzulfiqar.
ولا يجوز أن يقوم بعض الظاهريين الحرفيين بحمل العبارة على معناها الظاهر؛ لأنّ ذلك قصور عن اتساع اللغة العربية وأساليبها الفنية والبلاغية، فلا يصحّ أن يزعم زاعم أنّ قائل هذه الكلمة لا يتولى الله تعالى أو القرآن الكريم أو الإسلام مثلاً؛ لأنّ هذا مما لا يخطر بعقل مسلم أبداً، ولأنّ هذه الكلمة جاءت في سياق معين، وهي تكرار الإساءة للنبيّ صلى الله عليه وسلم في بعض الصحف الغربية، وبناء على هذا التوجيه وهذه القرائن تعيّن حمل الكلام على معناه المجازي للقرينة الحالية.
Dan tidak diperbolehkan kelompok tekstualis berasumsi dengan memahami redaksi itu pada maknanya yang tekstual, karena hal itu membatasi keluasan bahasa Arab, seni uslubnya, dan balaghahnya, sehingga tidak benar anggapan bahwa orang yang mengucapkan kalimat ini tidak peduli pada Allah, al-Quran, atau pun Islam -misalnya-, karena hal ini tak kan pernah terlintas dalam pikiran seorang muslim selamanya dan juga karena kalimat ini muncul dalam konteks tertentu, yaitu berulang-ulangnya pelecehan terhadap Nabi ﷺ di sebagian koran Barat. Berdasar pandangan ini dan konteks tertentu inilah redaksi itu dipahami pada maknanya yang majazi pada konteks sekarang ini.
وعليه؛ فالأصل أن تُحمل مثل هذه الكلمات على محمل حسن يُراعى فيه مقصد قائلها، والسياق الذي وردت فيه، وقد وردت كلمة (إلا رسول الله) في سياق الإساءات المتكررة للنبيّ صلى الله عليه وسلم، ومقصد قائليها تعظيم حرمة النبيّ صلى الله عليه وسلم والدفاع عنه، وليس ثمة إشكال شرعيّ ولا لغويّ في هذه الكلمة، ونوصي المسلمين بنبذ الفرقة والخلاف، والاتحاد على ما يحبه الله ويرضاه من صالح الاعتقاد والعمل. والله تعالى أعلم.
Dan berdasar inilah, maka pada dasarnya agar kalimat-kalimat semacam ini dipahami dengan pemahaman yang baik, memperhatikan betul maksud pengucapnya, dan konteks yang terjadi. Dan kalimat illâ Rasûlullâh tercetus dalam konteks terjadinya pelecehan yang berulang-ulang terhadap Nabi ﷺ dan maksud pengucapnya adalah mengagungkan dan membela kehormatan Nabi ﷺ. Sementara itu, tak ada kemusykilan baik syar'i maupun lughawi dalam redaksi ini. Dan kami berpesan pada kaum muslimin agar meninggalkan (sekat) kelompok dan perselisihan, dan bersatu pada i'tiqad dan amal shalih yang Allah cintai dan ridhoi.
Wallâhu a'lam
Sumber FB : Nur Hasim
11 Maret 2021 pada 16.13 ·