Sumber Sirah Nabawiyah yang utama adalah Al-Quran. Al-Quran merupakan representasi dari akhlaq Nabi SAW, bahkan ayat-ayat Al-Quran turun sejajar dengan Sirah Nabawiyah, setia mendampingi kemana pun Nabi SAW selama 23 tahun.
Jadi kalau kita jadikan Al-Quran sebagai kitab sejarah, sebenarnya secara prinsip memang cocok sekali.
Apalagi mengingat seluruh ayat Qur'an itu dijamin Shahih dan mutawatir. Jadi urusan keotentikan, tidak ada yang bisa mengalahkan Al-Quran.
Namun demikian, secara teknis menjadikan Al-Quran sebagai satu-satunya referensi Sirah Nabawiyah, sebenarnya tidak mudah. Ada beberapa kendala yang nyata di depan mata.
Pertama : Kendala Urutan Waktu
Mushaf Al-Quran yang kita kenal dan yang sah itu tenyata tidak disusun berdasarkan tartib nuzuli, melainkan sesuai tartib mushafi.
Padahal dalam ilmu sejarah, urutan waktu kejadian itu merupakan poin penting dan tidak bisa diabaikan.
Padahal sebenarnya dulu sewaktu diturunkan, ayat demi ayat Al-Qur'an itu turun seiring dengan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW, setidaknya mulai dari usai 40 hingga wafatnya di usia 63 tahun.
Sayangnya teks ayat-ayat itu sendiri malah tidak punya keterangan waktu secara eksplisit, sehingga kita tidak pernah tahu kapan sebenarnya ayat itu diturunkan, dalam rangka apa dan atas kejadian apa.
Kalau mengandalkan teks ayatnya, jelas kita tidak akan menemukan informasinya, kecuali setelah kita baca tafsir, khususnya bab Asbabun-Nuzul.
Memang dulu di zaman kenabian, para shahabat banyak yang punya catatan wahyu dan catatan itu sering disebut dengan istilah mushaf shahabat.
Konon mushaf Ali disusun berdasarkan tartib nuzuli. Namun setelah itu tidak diperkenankan, bahkan dimusnahkan dengan dibakar pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Sebab yang standar itu justru dengan urutan yang kita kenal sekarang ini.
Maka kita tidak bisa begitu saja menjadikan Al-Quran sebagai kitab Sirah Nabawiyah, sebab dari segi urutannya justru tidak sesuai dengan urutan waktu. Padahal Sirah Nabawiyah itu intinya merupakan garis waktu.
Memang ada upaya segelintir ulama untuk menulis kitab tafsir, bukan mushaf, yang diurutkan berdasarkan timeline garis waktu.
Salah satunya adalah : At-Tafsir Al-Hadits. Penulisnya tokoh modern bernama Dr. Muhammad Izzah Darwazah (w. 1404H). Tafsir ini disusun berdasarkan ayat-ayat yang diyakini oleh penyusunnya sebagai urutan turunnya Al-Quran. Tentu saja urutan itu 100% merupakan ijtihad pribadinya.
Kedua : Tidak Ada Nama Tokoh dan Waktu Kejadian
Benar sekali di dalam Al-Quran terdapat banyak kisah, baik kisah Nabi SAW dengan para shahabat, mapun kisah-kisah umat terdahulu bersama dengan para nabi mereka masing-masing.
Namun secara teknis, ternyata gaya bertutur Al-Quran sangat khas, yaitu justru jarang sekali -bahkan nyaris tidak pernah- menyebut nama tokoh dan waktu kejadian dalam sejarah.
Padahal dalam ilmu sejarah, nama tokoh dan angka tahun kejadian itu menjadi urusan penting.
Bayangkan, dari 124 ribu nabi dan rasul, hanya 25 orang saja yang namanya tercantum dalam Al-Quran. Yang paling banyak disebut adalah Nabi Musa. Namanya berulang hingga 136 kali.
Nabi Khidir meski kisahnya disebutkan cukup panjang dalam Surat Al-Kahfi, namun namanya tidak disebut secara eksplisit. Sebaliknya nama Lukman Al-Hakim disebut dengan jelas, termask kisahnya, bahkan namanya menjadi nama surat tersendiri. Namun para ulama tidak sepakat menyebutnya sebagai nabi.
Kadang Al-Quran hanya menyebut gelar atau jabatannya saja, tapi siapa sosoknya, kita malah harus berijtihad lagi.
Sebutlah misalnya nama firaun dimana Al-Quran mengulang namanya sampai 74 kali. Ternyata firaun itu bukan nama orang, tapi gelar. Lalu siapakah dia sebenarnya?
Firaun itu gelar untuk penguasa di Mesir kala itu. Sebagian sejarawan meyakini bahwa Firaun yang disebut-sebut musuhnya Nabi Musa itu adalah Ramses II yang diperkirakan wafat sekitar 1213 SM
Ketika Al-Quran menyebut nama Dzul-Qarnain, para sejarawan pun ramai berdebat, siapakah yang dimaksud? Apakah dia itu Cyrus The Great, Darius The Great ataukah Alexander The Great?
Nama Nabi Muhammad (محمد) bahkan hanya empat kali disebutkan. Nyaris tidak ada seorang pun nama istri atau putera-puteri Nabi SAW yang disebutkan dalam Al-Quran.
Bahkan tak satu pun nama shahabat muncul di Qur'an, kecuali satu-satunya yaitu Zaid.
فَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia. (QS. Al-Ahzab : 37)
Tapi uniknya ada satu nama musuh bebuyutan Nabi SAW yang disebutkan dalam Al-Quran, yaitu pamannya yang bergelar Abu Lahab. Nama aslinya adalah Abdul 'Uzza. Namun gelarnya itu menjadi nama surat tersendiri dalam Al-Quran.
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa.
مَا أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ
2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.
سَيَصْلَىٰ نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ
3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
Namun meski ada dua kendala utama itu, tetap saja Al-Quran merupakan sumber utama dalam penulisan kitab Sirah Nabawiyah.
Tentunya harus dibantu dengan sumber-sumber yang lain, seperti hadits nabawi, serta sejumlah riwayat dari para shahabat, tabi'in dan lainnya.
(bersambung)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
Kajian · 14 Maret 2021 pukul 01.02 ·