Proses Ulama Dalam Berfatwa Mengenai Suatu Permasalahan Kontemporer

Proses Ulama Dalam Berfatwa Mengenai Suatu Permasalahan Kontemporer - Kajian Islam Tarakan

Proses Ulama Dalam Berfatwa Mengenai Suatu Permasalahan Kontemporer

Pada suatu kuliah umum Maulana Syaikh Ali Jum’ah, beliau menyatakan bahwa umat manusia telah memasuki suatu fase baru yang belum pernah dilalui mereka. 

Tepatnya, ketika periode 1830 M - 1930 M. Diawali dengan revolusi industri jilid 1 di Inggris, dimana mereka berhasil membuat kapal berbahan dasar besi mengapung di atas laut. 

Padahal sepanjang ribuan tahun pena sejarah mencatat, manusia hanya tahu kayu yang dapat mengapung di atas air. Di periode yang bersamaan, terjadi berbagai macam perubahan besar-besaran di seluruh dunia. 

Seperti dalam bidang politik, dimana negara-negara eropa mengalami perubahan bentuk sistem pemerintahan mereka. Begitupun dalam bidang teknologi dan sains, cikal bakal dunia modern sudah mulai lahir. 

seperti cikal bakal: telepon, lampu, mobil, bahkan penemuan bahan bakar minyak pertama kali dalam sejarah. Pada periode ini, seakan-akan dunia memang menghendaki untuk berubah dengan sangat cepat. 

Dengan semua perubahan di dunia yang berlangsung sangat cepat itu, maka tentunya, dalam setiap perubahan pasti akan muncul hal-hal baru yang belum pernah ada di masa lalu. 

Dan karena agama islam mempunyai Syariat yang sesuai untuk setiap ruang dan waktu, maka hal-hal baru itu juga membutuhkan status hukumnya. Namun, untuk menetapkan status hukum sebuah masalah secara Syariat Islam tidaklah ditentukan begitu saja. 

Perlu berbagai tahap, pertimbangan, dan analisa yang mendalam. Kali ini -izinkan saya- untuk mengajak kita melihat secara ringkas bagaimana para ulama menetapkan status hukum sebuah masalah kontemporer. 

Apa saja langkah-langkah yang dilalui? Lalu, pertimbangan apa saja yang “ditimang-timang” oleh para ulama ? Dan apa saja kemungkinan yang ada pada permasalahan yang baru ?

Secara garis besar, ada 3 langkah utama yang dilakukan oleh para ulama ketika akan menentukan status hukum sebuah permasalahan kontemporer. 

Yaitu: 

1. Tashawwur. 

2. Takyif al-Fiqh.

3. Tathbiq al-Hukm atau Tanzil al-Hukm. 

Langkah pertama ialah Tashawwur. Secara mudah kita dapat memahami Tashawwur dgn gambaran sebuah permasalahan. Lalu, mengapa Tashawwur ialah hal yg sangat penting? sehingga para ulama harus melewati tahap ini dahulu sebelum menentukan status hukum sesuatu ? 

Jawabannya ialah, karena sebagaimana telah masyhur sebuah kaidah: 

‎الحكم على الشيء فرع عن تصوره. 

“hukum atas sesuatu perkara bergantung pada gambaran yang tepat atas perkara tersebut.” 

Dari sini dapat kita pahami, bila dari Tashawwurnya saja sudah salah, maka akan terjadi “Efek Domino” atau “reaksi berantai”. Sehingga, langkah-langkah selanjutnya tentunya akan bermasalah. Dan otomatis, hukum yg ditentukan pun juga tidak tepat. 

Jadi, Tashawwur merupakan hal yg sangat esensial dalam menentukan status hukum sebuah permasalahan baru.

Pada tahapan Tashawwur ini, diperlukan untuk memandang sebuah permasalahan -paling tidak- dari 3 sisi. 

Yaitu: 

1. Gambaran atas permasalahan itu sendiri. 

2. Gambaran atas realita dimana permasalahan itu terjadi, baik dari segi ruang maupun waktu. 

3. Gambaran atas permasalahan-permasalahan yg semisal, dan permasalahan yg “tecampur-aduk” dengan permasalahan itu sendiri. 

Karena, banyak kasus kontemporer yg sebenarnya terdiri bukan hanya dari 1 permasalahan, melainkan ada berbagai macam permasalahan dalam kasus itu. 

Sehingga, ibarat benang kusut, maka ia perlu “direlai”. 

Pada tahapan Tashawwur ini, tidak jarang juga para ulama memerlukan Ahlu al-Khibrah. Yaitu, mereka yg memiliki kepakaran dan keahlian pada perkara tersebut. 

Contohnya: bila suatu permasalahan yg baru itu dalam bidang kedokteran, maka diperlukan seorang pakar dalam bidang kedokteran yg menjelaskan rincian permasalahan itu. 

Karena, tidak semua ulama mengerti masalah kedokteran, sehingga tetap dibutuhkan “tim ahli” untuk menjelaskan masalah tersebut.

Dan yang harus kita ketahui juga, ketika status hukum ditetapkan oleh para ulama, maka ia terikat dengan ruang, waktu, dan keadaan Mustafti (orang yang bertanya) itu sendiri. 

Kemudian, langkah selanjutnya ialah Takyif al-Fiqh. Sebagaimana kita ketahui, agama islam sudah ada semenjak lebih dari 1400 tahun lalu. 

Dan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber utamanya masihlah tetap sebagai sumber, belum berubah, dan tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat. 

Namun, semenjak tertutupnya pintu wahyu ditandai dengan wafatnya Nabi Saw., dan permasalahan yang tidak ada pada zaman Nabi Saw. terus ada dan bermunculan, juga pemahaman umat manusia terus berkembang. 

Maka, diperlukan para ulama yang mampu memahami apa yang diinginkan Tuhan kepada kita semua sebagai hambanya, untuk menjalankan tugas kita sebagai umat manusia di muka bumi. Yaitu, menyembah-Nya dan memakmurkan bumi.

Oleh karenanya, seiring berjalannya waktu, bangunan keilmuan umat islam terus bertambah dan dikokohkan hingga hari ini. 

Sehingga, ketika para ulama ingin menentukan status hukum dari permasalahan-permasalahan baru yang bermunculan, maka mereka tidak langsung menyimpulkannya dari al-Quran dan al-Sunnah. 

Melainkan, mereka harus mengecek terlebih dahulu apakah permasalahan ini sudah pernah ada dan dibahas oleh para ulama di generasi sebelumnya atau belum. 

Karena, para ulama islam di masa keemasannya dahulu, mereka tidak hanya membahas permasalahan yang terjadi di zaman mereka saja. Melainkan, juga membahas hal-hal yang belum terjadi di zaman itu. Hal ini dinamakan dengan Fiqh al-Iftiradhi.  

Selanjutnya, agar langkah Takyif al-Fiqhi ini dilakukan secara benar. Maka, diperlukan memerhatikan terhadap 2 perkara: 

1. Mengetahui terhadap dalil-dalil Fiqih yang ada. 

2. Memahami dalil-dalil yang ada dan Ushul Fiqhnya secara benar.

Pada poin pertama, para ulama harus mengetahui dalil-dalil yang ada seperti: Nash al-Quran dan al-Sunnah yang tsabit, Ijma’, Qawa’id Fiqhiyyah, pendapat para Sahabat, Tabi’in, Fuqaha sepanjang perjalanan intelektual keilmuan umat islam. 

Namun tidak sampai disitu, pada point selanjutnya, para ulama harus mengetahui bagaimana “berinteraksi” dengan semua itu. Yaitu, memahami dengan benar bagaimana cara “berinteraksi” dengan dalil-dalil yang ada melalui ilmu Ushul Fiqh. 

Seperti: bagaimana cara “mengistinbathkan” dalil secara benar, mengetahui Dalalah al-Alfazh: bisa membedakan antara ‘Am dan Khas, Mantuq dan Mafhum, Nasikh dan Mansukh, Ima dan Isyaroh, dan mengetahui mana perkara yang sudah bersifat Ijma’ diantara kaum muslimin ataupun masih bersifat Khilaf. 

Kemudian setelah semua itu dilakukan, maka ada beberapa kemungkinan atas status hukum dari permasalahan itu. Kemungkinan itu ialah: 

1. Permasalahan itu ialah permasalahan yang sudah ada di zaman dahulu dan pernah dibahas oleh para ulama geneasi sebelumnya, sehingga para ulama saat ini hanya tinggal menyampaikan lagi apa yang pernah dibahas. 

2. Permasalahan kontemporer tersebut ialah permasalahan yang “mirip” dengan permasalahan klasik yang sudah ada dan pernah dibahas di generasi sebelumnya. Sehingga, para ulama -tentunya dengan kapasitasnya- “hanya” tinggal meng-”qiyaskan” dari permasalahan klasik tersebut. 

3. Permasalahan yang benar-benar baru dan belum pernah dibahas oleh para ulama di generasi sebelumnya. Dalam keadaan ini, maka para ulama harus berijtihad untuk menentukan status hukum yang ada. 

Dengan catatan, yaitu: 

1. Tidak boleh bertentangan dengan Nash yang Tsabit dari al-Quran dan al-Sunnah. 

2. Harus mengerti apa konsekwensi dari ketentuan status hukum yang ditetapkan, dengan harus mempertimbangkan dari sisi Maqashid al-Syari’ah. 

3. Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah Syariah al-Kubra yang disepakati, seperti: Dar ‘u al-Mafasid Muqaddam ‘Ala Jalb al-Mashalih (mencegah kerusakan mesti didahulukan dari mendapatkan maslahat.) 

4. Tawaqquf (berhenti), dengan makna abstain atau tidak memberikan jawaban atas permasalahan ini. Para ulama bila belum menemukan jawaban dari sebuh permasalahan baru, maka mereka akan berhenti dan tidak menjawab apa-apa, sampai permasalahan baru ini tampak jelas sehingga dapat diselesaikan.

Selanjutnya, Langkah yang terakhir ialah Tathbiq al-Hukm atau Tanzil al-Hukm. 

Disinilah inti permasalahan yang sebenarnya, yaitu menerapkan hukum tersebut dalam realita masyarakat. 

Namun, perlu diketahui bahwa dari dua langkah pertama kita sudah dapat mengetahui apa status hukum dari permasalahan tersebut. 

Karena, untuk menerapkan diperlukan kapasitas yang memadai. Dengan banyak sekali pertimbangan, baik harus mempertimbangkan masalahat umum, bukan hanya perorangan. Dan menyesuaikannya dengan Kulliyat al-Khams dalam Ushu al-Fiqh. 

Yaitu, Maqasid al-Syariah yang bertujuan menjaga: al-Din (agama), al-Nafs (nyawa), al-‘Aql (Akal), al-Nasl (keturunan), dan al-Mal (harta).

Dari semua tahapan diatas, maka kita dapat mengetahui bahwa fatwa para ulama atas permasalahan kontemporer, ialah merupakan hal yang sangat rumit dan panjang perjalanannya. 

Telah dilihat dari berbagai macam sisi dan kemungkinan yang ada, melibatkan berbagai macam pihak, dan berbagai macam pertimbangan dari konsekwensi bila fatwa itu dikeluarkan. 

Itupun, bila ternyata ditemukan kesalahan, maka para ulama diharuskan untuk “menarik fatwanya”, kemudian diubah menjadi fatwa yang benar dan sesuai.

Oleh karenanya, fatwa itu bukan perkara yang mudah. Sangat sulit, rumit, dan besar tanggung-jawabnya. Bahkan para ulama harus bertawaqquf (berhenti) atau bahkan mengatakan tidak tahu mengenai permasalahan tersebut.

Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. bersabda:

أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار

Orang yang paling berani di antara kalian dalam berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka (HR. Ad-Darimi)

Saking beratnya menetapkan status hukum untuk suatu perkara, bahkan sekelas Imam Malik -Rahimahullahu Ta’ala- (W. 179 H) sangat sering menjawab tidak pandai dalam itu maupun tidak tahu masalah itu.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab: Tartib al-Madarik Karya Qadhi ‘Iyadh (W. 544 H). Di Halaman 183, Jilid 1, Cetakan pertama, Percetakan Fadhala al-Muhammadiyah. Atau lebih gampangnya silahkan diakses via: al-Maktaba.org , hehe.

Bahwa Ibn Wahab pernah berkata: saya bertanya 30.000 permasalahan baru kepada Imam Malik selama beliau hidup, namun Imam Malik menjawab pada sepertiganya atau setengahnya atau yang Allah kehendaki darinya dengan jawaban: aku tidak pandai dalam perkara ini, atau aku tidak tahu.

Muhammad Al Fatih Mubarok.

Kairo, 26 Januari 2021.

Keterangan foto: 

1. Kondisi di Masjid al-Azhar saat pelaksanaan Shalat Jumat ketika pandemi. Dimana menerapkan protokol kesehatan yang Hay’ah Kibar Ulama al-Azhar sudah memfatwakan wajib untuk menaati protokol kesehatan.

Sumber FB : Muhammad Al Fatih Mubarok

26 Januari 2021 pada 06.18  · 

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Proses Ulama Dalam Berfatwa Mengenai Suatu Permasalahan Kontemporer". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait