Fiqih Kontemporer

Fiqih Kontemporer - Kajian Islam Tarakan

Fiqih Kontemporer

Sederhananya fiqih kontemporer itu adalah persoalan fiqih yang belum pernah dibahas para ulama fiqih klasik di masa lalu. Alasannya karena fenomenanya di masa itu memang belum muncul. 

Ternyata fiqih kontemporer tidak melulu terkait dengan teknologi terkini macam hukum bayi tabung, kloning manusia, atau kehidupan di luar angkasa. 

Tapi persoalan fiqih klasik pun banyak juga  yang perlu dikaji ulang karena ditemukannya fakta-fakta terbaru. Maka pada sebagian masalah fiqih klasik pun kadang terselip kajian fiqih kontemporer juga. 

Ada beberapa contoh yang bisa saya sebutkan. 

1. Thaharah : Mensucikan Air Najis 

Dalam fiqih klasik, bila ada bangkai nyemplung ke sumur, maka cara mensucikan ya kembali air sumur yang najis itu dengan membuang dulu bangkainya, lalu airnya ditimba terus menerus hingga tergantikan dengan air baru dari mata airnya.

Itu dilakukan lewat proses yang panjang. Intinya dengan semakin banyaknya volume air ditambahkan terus, lama-lama unsur najisnya akan terabaikan. 

Namun di era modern ini kita mengenal berbagai teknologi penjernihan air. 

Salah satu contoh sederhana adalah proses penjernihan air butek di kolam renang. Ternyaya cukup ditaburi zat tertentu dan dibiarkan semalaman, besoknya air jernih kembali. Kotoran yang mengendap di dasar kolam tinggal divacum, beres.

Dan ada juga lewat teknologi osmosis, sehingga segala kotoran dan kuman tak nampak mata bisa disaring. Secara teknis, hasil penyaringannya pun aman diminum mentah-mentah.

Segala bau, warna, rasa yang jadi indikator najis sudah lenyap tak berjejak. 

Pertanyaannya : apakah air hasil penjernihan berteknologi itu bisa dikategorikan air suci mensucikan? Mengingat dalam fiqih klasik hanya dibatasi 7 saja, yaitu air langit (hujan, embun, salju) dan air bumi (laut, sungai, mata air dan sumur). 

2. Shalat : Ganti Arah Kiblat?

Contoh sederhana adalah perubahan arah kiblat di zaman modern ini. 

Sejak dulu bangsa Indonesia kiblatnya ke arah Barat. Namun ketika sebagiannya pindah ke benua Amerika (Suriname), arah kiblatnya bukan lagi arah barat, tapi perlu dikoreksi ulang pakai kompas. 

Nah, uniknya konon di masa awal itu, koreksi perubahan arah ini agak bikin stori tersendiri, karena fiqih yang mereka terapkan sejak zaman nenek moyang perlu dikoreksi. 

Mungkin buat kita di masa sekarang yang terbiasa terbang naik pesawat ke luar negeri sudah tidak ada masalah dengan penyesuaian arah kiblat. Tapi bayangkan penduduk desa di zaman Belanda, dipindahkan ke benua Amerika  begitu saja, maka terjadilah masalah arah kiblat shalat. 

Beberapa daerah pun ada yang arah kiblatnya perlu mengalami penyesuaian ulang. Terutama sejak mulai dikenalnya ilmu bumi, karena arah kiblat mereka selama ini masih kurang tepat arahnya. 

Khususnya bila diklukur pakai globe dengan model bumi bulat bukan bumi datar. 

3. Puasa : Batal Karena Lubang Kemasukan?

Di era fiqih klasik, puasa kita difatwakan batal manakala ada lubang-lubang (jauf) pada tubuh kita yang kemasukan suatu benda, seperti lubang telinga, lubang mata dan lainnya. 

Alasannya dijelaskan karena diyakini lubang-lubang itu merupakan manfadz (saluran) yang terhubung ke dalam perut kita. 

Sehingga manakala lubang itu kemasukan suatu benda, secara teknis dianggap makanan Empat Mazhab fiqih klasik sepakat memfatwakan hal ini.

Tapi hari ini lewat ilmu anatomi tubuh dan dibuktikan dalam ilmu bedah, bahwa lubang-lubang itu ternyata tidak punya saluran langsung ke perut. Sehingga masuknya benda ke lubang itu kalau diqiyaskan kepada makan menjadi kurang tepat.

Koreksi semacam ini menarik diperhatikan, mengingat dahulu para ulama berfatwa dengan menggantungkan pada fenomena sains yang dikenal di masa mereka. Di masa mereka, itulah kebenaran. 

Namun fakta sains mereka mereka hari ini sudah banyak sekali terkoreksi. Tidak ada saluran yang disebut-sebut terhubung ke perut itu. Akbatnya fatwa yang dibangun di atas fakta sains masa lalu otomatis butuh di-adjusting ulang pada hari ini. 

4. Zakat : Hakikat Emas Perak dan Uang Kertas

Dalam Al-Quran disebutkan bahwa orang yang menimbun emas atau perak wajib mengeluarkan zakatnya. Emas dan perak yang dimaksud bukan perhiasan atau emas batangan, melainkan koin-koin Dinar dan dirham yang fungsinya sebagai alat tukar atau alat pembayaran dalam jual-beli.

Namun hari ini emas dan perak secara fisik sudah tidak lagi emas berwujud koin. Kalau pun dibikin, fungsinya pun bukan sebagai alat pembayaran yang digunakan masyarakat. 

Emas hari ini hanya berfungsi sebagai koleksi perhiasan. Di masa kenabian dulu, emas yang seperti itu jelas tidak dikenakan zakat. Karena pada hakikatnya zakat emas itu adalah zakat uang. 

Namun uang di masa sekarang tidak lagi berwujud emas atau perak. Uang kita hanya berupa kertas cetakan yang tidak punya nilai intrinsik. Begitu dibawa keluar dari wilayah suatu negara, langsung tidak punya nilai karena tidak diakui di negara lain. 

Pertanyaannya, apakah kertas-kertas ini juga kena zakat?

Uang kertas itu bukan emas perak yang benar-benar berharga apa adanya. Kalau koin emas perak di masa lalu, mau dibawa kemanapun, pasti diakui sebagai alat tukar.

Tapi zaman berubah, emas perak hari ini  sudah tidak lagi diakui sebagai alat tukar yang lazim digunakan. Meski masih jadi logam mulia dan ada nilainya, tapi sudah kehilangan fungsi dasarnya sebagai alat tukar. 

Pertanyaan kedua muncul : emas yang kita miliki tapi tidak berfungsi sebagai alat tukar itu apa kena zakat?

5. Miqat Baru Haji Umrah?

Penetapan batas miqat haji atau umrah itu disepakati bersifat tauqifi, artinya ditetapkan langsung  oleh Nabi SAW. Dan selama berabad-abad, rute ke Mekkah masih melalui jalur yang sama seperti di zaman Nabi SAW. 

Namun seiring perkembangan zaman, mulai muncul rute-rute baru, yang belum pernah terbayang sebelumnya. 

Misalnya sejak zaman dulu penduduk negeri di benua Afrikakalau haji mesti berputar lewat terusan Suez, tidak langsung menerobos laut Merah lalu mendarat di Jeddah. 

Namun setelah ditemukannya kapal besar, mereka berani terobos laut Merah dan merapatkannya di dermaga Jeddah. Disitu muncul persoalan terkait batas miqat. 

Bisakah dermaga pantai laut Merah di kota Jeddah itu dijadikan miqat baru, yang tidak pernah ditetapkan oleh Rasulullah SAW? 

Di masa kenabian tidak ada orang Afrika berhaji menyeberang laut Merah langsung merapat di Jeddah. Makanya Nabi SAW tidak menyebut Jeddah sebagai miqat, karena bukan rute untuk mencapai Mekkah di masa itu. Bahkan hingga berabad-abad kemudian. 

Apalagi hari ini orang berhaji naik pesawat. Pastinya rutenya jauh berbeda dengan rute tradisional lama. Biasakah hari ini dilakukan penetapan miqat baru lewat qiyas?

Dan faktanya, apa yang dilakukan oleh para penumpang pesawat saat ini ketika mereka bermiqat di atas udara pun sebenarnya bukan miqat yang asli. Tapi miqat bayangan saja, di atas garis imaginer. 

Misalnya kita naik pesawat dari arah negeri Syam lewat Madinah. Ternyata pesawatnya tidak terbang rendah beberapa meter pas di atas masjid Bir Ali juga. 

Posisi pesawat ada di ketinggian 33.000 kaki di atas awan. Masjid Bir Ali malah tidak nampak dalam pandangan mata. Secara fisik kita tidak mampir di Bir Ali. Faktanya sesungguhnya kita malah ambil miqat di angkasa raya alias di langit. 

Masih banyak sekali kajian fiqih kontemporer, mungkin kalau dijumlahkan bisa memakan beratus halaman. Tapi belum selesai saya kerjakan. Masih antri dulu nunggu giliran.

Sumber FB :  Ahmad Sarwat

Kajian  · 18 Februari 2021 pukul 06.36  · 

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Fiqih Kontemporer". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait