Bisnis Yang Sesuai Syariah Itu Yang Bagaimana?

Bisnis Yang Sesuai Syariah Itu Yang Bagaimana? - Kajian Islam Tarakan

Bisnis Yang Sesuai Syariah Itu Yang Bagaimana?

Saya diminta bicara tentang bisnis yang sesuai syariah. Judul tulisan ini jadi judul kajian saya. 

Sebenarnya kalau mau diteorikan pakai literatur  macam tulisan di jurnal ilmiyah, bisa panjang lebar dan njelimet. Tapi saya ingin bicara santai saja berdasarkan trend yang lagi ramai.

Hari-hari ini bisnis berbungkus syariah memang lagi marak, menggiurkan  dan nampaknya punya pangsa pasar sendiri. Apa-apa yang berbau 'syariah' atau 'halal' nampaknya lagi naik daun dan banyak diminati orang. 

Sebagai muslim dan sarjana ilmu syariah, pasti saya berbahagia sekali melihat trend syariah begitu banyak diterima masyarakat. Tidak sia-sia selama ini saya ikut menggaungkan ilmu syariah. 

Ada bisnis perumahan syariah, ada bisnis wisata syariah, ada bisnis bank syariah, ada bisnis pasar syariah dan silahkan diteruskan sendiri. Panjang lah pokoknya, intinya banyak bisnis baru bermunculan dengan memanfaatkan label syariah.

Tapi jangan sebut fakultas syari'ah ya. Sebab fakultas syari'ah memang sudah ada dari zaman dulu dan bukan termasuk trend kekinian. Maksudnya di zaman serba berbau syariah ini, fakultas syari'ah malah tidak termasuk yang ramai dibangun dimana-mana. 

Yang ramai justru yang bernuansa Qur'an, ada banyak pesantren tahfizul Qur'an dan ada Tahsinul Qur'an. Cuma herannya kok tidak ada yang khusus Ulumul Quran dan Tafsir. 

Beberapa Catatan Dan Otokritik

Kembali ke bisnis bernuansa Syariah di atas, yang saya amati keunikannya justru ketika bisnis-bisnis itu tidak berangkat dari kajian matang dan disepakati para ulama dan pakar syariah sendiri. 

Bisnis berlabel syariah malah tidak lahir dari kalangan yang selama ini merupakan para ahli dan pakar syariah. Bukan dari guru besar dan profesor ilmu syariah. Saya kurang tahu, apakah para pakar syariah memang kurang suka berbisnis. 

Fenomena ini tentu menggembirakan di satu sisi, tapi juga sedikit menyelipkan kekhawatiran di sisi lain.

Semoga hanya sekedar kekhawatiran saya pribadi saja. Misalnya, saya sering diundang untuk  mengisi berbagai kajian di lembaga keuangan syariah. Kadang saya temukan fenomena yang agak di luar ekspektasi awal saya.

Tadinya saya kira, karena saya diminta jadi nara sumber fiqih muamalat di lembaga berbasis syariah, saya bikin persiapan yang rada matang. Bahkan saya siapkan makalah berbahasa Arab untuk saya bagikan kepada karyawan dalam kajian.

Tapi saya kaget ketika hampir semua karyawannya tidak ada yang paham bahasa Arab. Tak satu pun yang melek kitab kuning. Bahkan hanya satu dua yang dulunya pernah lulus dari madrasah Aliyah. 

Benar-benar di luar dugaan saya. Soalnya di awal saya termasuk yang rada silau dengan merek syariahnya. Tapi begitu masuk ke dalamnya, lama-lama saya jadi sadar sendiri. 

Ternyata trend pemahaman ilmu syariah di level para karyawannya sendiri justru masih perlu banyak diupgrade. Tidak usah bicara fiqih muamalahnya, fiqih ritual ibadahnya pun juga masih agak dasar banget. 

Saat itu saya cuma membatin, level ilmu syariah kayak gini kok kerja di lembaga keuangan syariah. Tapi saya diam saja. Mungkin cuma kekhawatiran saya yang terlalu berlebihan.

Maklumlah, rata-rata mereka memang bukan jebolan pesantren apalagi fakultas syariah. Mereka kebanyakan muncul dari sistem pendidikan umum, terus secara sekilas  mendapatkan pompaan semangat keislaman, lalu tiba-tiba langsung jadi pelaku bisnis syariah. 

Padahal mereka itu karyawan bank syariah, yang sudah leading duluan. Lalu bagaimana dengan para pemilik bisnis baru yang brudal-brudul bermunculan bertubi-tubi dan semua ngaku syariah?

Kalau saya amat-amati, ada satu dua dari mereka yang saya kenali sebagai murni pebisnis. Tapi terus ikut trend kekinian, melihat peluang lalu membalut bisnisnya dengan berbagai aksesori khas syariah. 

Diskusi langsung dengan mereka, saya jadi mudah menakar kadar pemahaman ilmu syariah mereka. 

Rata-rata kuat di level semangat dan motivasi, kaya dengan narasi bahkan piawai orasi terkait haramnya riba dan gharar. 

Namun bersamaan dengan itu agak miskin literasi dari sisi original fiqih muamalah. Dan agak  limbung ketika mengaitkannya dengan fiqih nawazilnya (kontemporernya).

Sehingga kesan yang mudah terekspose justru mereka terpapar pada hal-hal yang sifatnya kulit terluarnya dan bukan esensinya. 

Beberapa catatan yang saya ingat di luar kepala adalah:

1. Sering terjebak dengan praktek muamalah di masa kenabian yang dianggapnya itulah yang syar'i, padahal muamalah semacam itu sudah berjalan jauh sebelum turun syariah. 

Contohnya penggunaan alat tukar Dinar dan Dirham yang terlanjur diklaim sebagai mata uang Islam. Padahal Dinar itu digunakan oleh bangsa Romawi yang Kristen, dan Dirham itu digunakan oleh orang Persia yang menyembah api. 

Benar sekali Nabi SAW menggunakannya, tapi tidak ada riwayat beliau mencetak Dinar atau Dirham. Kita juga tidak menemukan teks Quran atau Hadits yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Dinar dirham itu harus jadi alat tukar dalam syariat Islam selamanya.

2. Mudah terpseona dengan idiom dan lambang syariah, seolah-olah sudah dijamin pasti berbasis syariah sepenuhnya. 

Padahal dalam banyak kasus seringkali konsumen pada kecewa akhirnya, setelah mengetahui fakta sesungguhnya bahwa bisnis berbalut syariah itu ternyata dijalankan dengan sangat tidak profesional. 

Saya kok tidak tega menuliskan contohnya disini. Silahkan cari sendiri contohnya. 

3. Banyak memanfaatkan rasa permakluman dan pengorbanan para konsumen 'demi menegakkan syariah', padahal sebenarnya sekedar menutupi wan prestasi bisnis berbalut syariah.

4. Sering terbalik-balik menerapkan prinsip muamalat dengan prinsip ibadah. Padahal keduanya punya prinsip yang bertolak belakang. 

Kalau yang ini lebih dilatar-belakangi minimnya dasar-dasar keilmuan di bidang ilmu fiqih, baik fiqih ibadah ataupun fiqih muamalah. Makanya jadi suka terbolak-balik sendiri.

5. Over Estimate atau berlebihan dalam kampanye bisnis berbalut syariah.  Seolah-olah kalau berbasis syariah, langsung dijamin pasti sukses besar, untung gede, dan jadi solusi untuk keluar dari kemiskinan. 

Padahal kunci sukses bisnis itu bukan pada syariah atau bukan syariah, tapi ada begitu banyak faktor. Tanyakan saja pada para pebisnis yang sudah sukses, apa saja kiat sukses bisnis mereka. 

Yang pasti bukan karena faktor syariahnya. Setidaknya, syariah atau tidak syariah, bukan faktor x penentu sukses dalam berbisnis.

Tapi bisnis bersyariah itu menjamin sukses di akhirat, karena makan harta yang halal. 

Penutup

Pasti banyak yang tidak sepakat dengan apa yang saya tuliskan. Anda boleh setuju dan boleh tidak setuju. Kita bisa diskusi secara japri saja. Tidak perlu show-off di wall saya. 

Solusi sederhananya cukup dengan menambahkan porsi kajian ilmu syariah secara lebih intensif. Jadikan 50 % kerja dan 50% kuliah. Atau solusi yang lebih simpel, jangan terima karyawan kecuali lulusan fakultas syari'ah. 

Mau kerja jadi dokter di rumah sakit kok pendidikannya bukan fakultas kedokteran? Kan rada gimana gitu.

Sumber FB : Ahmad Sarwat

Favorit  · 11 Februari 2021 pada 20.49  · 

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Bisnis Yang Sesuai Syariah Itu Yang Bagaimana?". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait