Ahmad Sarwat, Lc.MA
Konten materi tarbiyah di masa dulu saya ikut liqo' itu keren-keren. Selain masalah aqidah, juga banyak materi yang hot seperti Qadhiyyatul Ummah (Problematika umat), Al-Ghazwul Fikri (perang pemikiran), Iqamatud-Din (penegakan agama) dan juga Fiqhud-Dakwah.
Dengan materi-materi macam itu maka ghiroh keislaman kita terbakar terus tiap hari. Pokoknya siap jadi kader-kader dakwah ibarat anak panah yang siap ditembakkan ke segala penjuru arah.
Tapi . . .
Ketika bicara tentang konsep syariah, baik yang terkait dengan ibadah (thaharah, shalat, zakat, puasa, haji) atau pun yang terkait dengan muamalah (jual-beli, ijarah, salam, isitshna', riba, dll), justru tidak ada materi yang baku.
Sehingga para murobbi lebih sering berimprovisasi sendiri-sendiri. Mereka cari-cari bahan materi syariah seketemunya. Kalau kebetulan punya akses kenal sama ustadz tertentu yang juga sama-sama aktifis dakwah, khususnya yang bergelar Lc, biasanya dijadikan rujukan.
Padahal kalau mau jujur, tidak semua ustadz itu Lc. Dan tidak yang bergelar Lc itu kuliah syariah. Tapi semua itu tidak jadi soal buat mereka yang tidak tahu urusan. Pokoknya dia itu ustadz dari barisan kita. Tsiqoh aja lah.
Terkait dengan kitab fiqih, sebenarnya ada yang direkomendasikan, yaitu kitab Fiqhus-Sunnah karya As-Sayyid Sabiq. Tidak tanggung-tanggung, yang merekomendasikan langsung Imam Hasan Al-Banna sendiri. Dan rekomendasi itu dicantumkan di halaman awal kitab.
Namun rekomendasi ini nampaknya tidak mutlak juga. Buktinya sebagian teman tarbiyah yang berlatar-belakang ormas tertentu nampaknya kurang sepaham. Teman saya dari Muhammadiyah misalnya, jelas lebih memilih fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah. Teman yang lain backgroundnya dari PERSIS, pastinya pilih fatwa Dewan Hisbah.
Yang kuliah ke Saudi, biasanya merujuk ke fatwa-fatwa Lajnah Daimah Saudi Arabia semacam Syeikh Bin Baz, Syeikh Utsaimin dan seterusnya.
Jadi nampaknya materi tarbiyah terkait ilmu syariah atau ilmu fiqih tidak ada yang baku atau standar.
Dan secara teknis, mereka dalam masalah fiqih otomatis merujuk kepada murobbi masing-masing. Apa yang difatwakan oleh murobbi, ya itulah yang jadi pilihan. Lalu murobbi itu merujuk kemana? Ya, ke murobbinya lagi, ke murobbinya lagi.
Mentok paling atas ujung-ujungnya ke Dr. Salim Segaf Al-Jufri. Beliau itu memang doktor di bidang fiqih, lulusan Universitas Islam Madinah. Tapi tidak semua ikhwah punya akses kesana. Terlalu tinggi derajatnya mungkin. Termasuk saya pun juga tidak nyampe maqamnya kesana.
Cuma karena saya kuliah di LIPIA, jadilah beliau dosen saya sejak Takmili hingga Syariah. Jadi saya secara pribadi punya akses ke Beliau, karena beliau memang dosen saya. Kalau saya tidak bisa mengakses, mana mungkin saya lulusan mata kuliah fiqih.
Terus mata kuliah fiqih yang beliau ampu itu kayak gimana? Ternyata apa yang Beliau ajarkan ke saya adalah Fiqhul Muqarin alias fiqih perbandingan mazhab. Kita belajar fiqih empat mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Mulai dari semester 1 bab thaharah sampai semester 8. Kitabnya pakai Bidayatul Mujtahid karya Imam Ibnu Rusyd (w. 595 H)
Lulus kuliah S1, Dr Salim meminta saya kerja di Pusat Konsultasi Syariah yang beliau dirikan. Tugas saya menjawab banyak masalah fiqih, sebagaimana yang diajarkan di LIPIA. Ciri khasnya fiqih perbandingan mazhab. Tidak menyalahkan dan mengakui semua hasil ijtihad yang harus dihormati.
Tapi lucunya, justru di kalangan aktifis dakwah malah tidak dikenal kajian fiqih muqarin macam yang kita pelajari di LIPIA itu. Terus terang saya juga tidak tahu kenapa ya materi fiqih, wabil khusus perbandingan mazhab itu tidak turun ke bawah. Kenapa tidak dijadikan materi tarbiyah? Padahal tiap hari kita berhadapan dengan masalah fiqih.
Apakah karena tidak ada SDM pengajarnya? Ataukah karena kebijakannya memang tidak berorientasi kepada meningkatkan pemahaman di bidang syariah? Atau mungkin tidak masuk skala prioritas dakwah?
Atau jangan-jangan takut menimbulkan perpecahan, sebagaimana ketakutan sebagian kalangan atas materi fiqih.
Saya tentu saja tidak tahu jawabannya. Kan saya bukan penentu kebijakan. Namun yang pasti, banyak teman aktifis dakwah pada merujuk pertanyaan fiqih ke saya. Padahal apa yang saya sampaikan bukan materi tarbiyah secara resmi dan formal. Yang saya sampai semata-mata fiqih perbandingan mazhab.
Ilmunya saya dapat ketika kuliah S1, bukan didapat di liqo' tarbiyah. Sejak dari punya murobbi (alm.) Ustadz Rahmat Abdullah hingga (alm.) Ustadz Yunahar Ilyas, materi liqo' yang saya dapat tidak pernah bersentuhan dengan materi fiqih.
Saya kenal ilmu fiqih salah satunya dari Dr. Salim dan juga banyak doktor fiqih lainnya. Namun bukan dalam format liqo' tarbiyah. Itu semata karena saya kuliah di Fakultas Syariah.
baca juga : Materi Tarbiyah 1.0 Materi Tarbiyah 2.0 Materi Tarbiyah 3.0
Sumber FB : Ahmad Sarwat
23 Januari 2020 ·