Abdul Wahab Ahmad
Istilah fiqhus sunnah (fikih sunnah), fiqhul hadis, atau istilah serupa itu cukup populer di kalangan pelajar hadis. Idenya simpel, yakni dengan cara mengeluarkan kesimpulan fikih dari teks hadis. Kalau sanad hadisnya kuat, maka kesimpulan fikihnya dianggap kuat, dan begitu pula sebaliknya. Simpel sekali.
Pemikiran simplistik inilah yang mengakibatkan konsep fikih sunnah ini bermasalah serius sebab fikih sendiri bukan hal yang simpel. Kelemahannya bisa dilihat setidaknya dalam dua hal:
1. Sunnah hanya salah satu dari sekian banyak sumber fikih. Bila fikih diibaratkan kue, maka sunnah adalah mentega. Mencoba membuat kue dari mentega saja tentu tak mungkin. Demikian juga bila mau mengukur kualitas kue hanya dari kualitas menteganya saja, ini aneh. Bahkan tak semua kue butuh mentega.
Fikih bersumber dari al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, ‘urf, dan banyak lainnya yang dibahas dalam ilmu ushul fikih. Karena itu, maka aturan fikih tetap bisa ada meskipun sunnahnya (hadisnya) tak ada. Karenanya, menyederhanakan fikih hanya sebatas sunnah adalah kesalahan serius.
2. Sunnah atau hadis ibarat bahan mentah yang masih belum diolah. Sedangkan fikih adalah hasil akhir dari proses olahan (baca: istinbath) para ulama. Karenanya, kebanyakan teks sunnah atau hadis saja tak bisa menghasilkan kesimpulan fikih.
Misalnya saja ada hadis sahih yang isinya menyebutkan bahwa Nabi mencium istrinya lalu shalat tanpa berwudhu, apakah lantas bisa disimpulkan menjadi aturan fikih bahwa bersentuhan kulit dengan istri tidak membatalkan wudhu? Tidak sesederhana itu. Hadis itu masih harus digabungkan dengan ayat dan hadis lain dan diolah sesuai kaidah istinbath yang dirumuskan para imam mujtahid untuk bisa menghasilkan kesimpulan fikih.
Jadi, istilah fikih sunnah adalah istilah yang rancu karena terlalu menyederhanakan masalah. Bila metode simplistik tetap dipakai, maka hanya akan menghasilkan kesimpulan aneh seperti yang terjadi pada sekelompok orang yang membuat masjid beralasan tanah dengan alasan dalam hadis disebutkan bahwa masjid Nabi beralaskan tanah bukan keramik.
Sebagian orang ada juga yang berfatwa agar sesekali shalat memakai sandal dan sesekali tidak sebab dalam hadis disebutkan bahwa Nabi sesekali memakai sandal saat shalat. Bila tak pernah shalat memakai sandal maka dianggap bid’ah. Ini semua adalah kesimpulan fikih yang aneh dan tidak tepat karena terlalu simplistik dalam menarik hukum fikih dari hadis.
Semoga bermanfaat.
Abdul Wahab Ahmad
Peneliti di Aswaja NU Center Jatim, PW LBM NU Jatim dan Dosen Fakultas Syariah IAIN Jember
Sumber : https://www.atorcator.com/2019/12/kelemahan-gagasan-fikih-sunnah.html (21/12/2019)
kajian sunnah tarakan
#islam
#sunnah