Yang kedua? Sebuah SMA di Jakarta Pusat juga mengimbau murid tak membawa ponsel pintar. Hasilnya: karena bukan larangan, maka tak dipatuhi. Murid tetap membawa BlackBerry dan Android, bahkan iPhone.
Pada kasus di SMP itu, kepala sekolah akhir tahun lalu menjelaskan alasan pelarangan kepada para orangtua. Yaitu agar siswa-siswi tak menyimpan maupun mempertukarkan gambar dan terutama video “yang tidak baik”. Saat itu video panas “mirip artis” masih dibahas.
Sedangkan pada kasus SMA, imbauan untuk tak membawa ponsel canggih itu untuk mengurangi tingkat kehilangan (baca: pencurian) di sekolah. Sempat disinggung soal kesenjangan ekonomi segala.
Yah, setiap sekolah berhak membuat peraturan maupun sekadar imbauan. Sama seperti ada SMA yang melarang siswa membawa mobil ataupun SMP yang melarang siswa tak ber-SIM mengendarai sepeda motor.
Tentu, ponsel dan kendaraan itu berbeda. Sebagai alat komunikasi, ponsel bisa ditumpangi muatan apa saja, tanpa kelihatan dari luar. Melarang konten, bila perlu merazia, boleh saja. Tetapi membatasi alat, saya rasa berlebihan. Ini serupa melarang notes saku gara-gara ada contekan di dalamnya. Justru tugas pendidik untuk menanamkan pengertian, termasuk memanggil orangtua siswa jika terjadi kasus konten dewasa.
Kalau masalahnya adalah kehilangan ponsel, apalagi dengan menyinggung kecemburuan sosial-ekonomis, bagi saya itu kurang bijak. Secara tersirat itu sama saja mempersangkakan orang tak berpunya sebagai pelaku.
Cara sebuah lembaga memperlakukan adopsi dan penggunaan teknologi merupakan cerminan pola pikir. Ini serupa kantor redaksi media yang menutup akses ke Facebook dari jaringan komputernya. Padahal perlu bukti apakah penutupan akses meningkatkan produktivitas, begitu pula sebaliknya.
Penulis: Antyo Rentjoko
Tentang Penulis: Antyo Rentjoko, dikenal juga dengan julukan Paman Tyo, adalah blogger di beberapa tempat yang mengagregasikan posting di antyo.rentjoko.net
( wsh / wsh )
Sumber : detikinet (14 Februari 2011)
#Tekno