Tentu saja, pasti tidak semua hal bisa dibahas habis di 1x pengajian. Saya yang barangkali tidak arif. Sehingga kedengerannya kayak memaksakan seseorang buat bersedekah.
Sebelum biara tentang maksa dan maksain sedekah, izinkan saya bicara dulu semukaddimahnya.
Aslinya memang saya sering maksa orang bersedekah sih, he he he. Saya bilang, urusan baik, kudu dipaksain. Dulu, kalo saya ga dipaksa mengaji, mungkin ga akan ada ilmu agama. Seorang anak jika ga dipaksa masuk pesantren, mungkin malah orang tuanya yang melarang-larang. Saking sayangnya, begitu mungkin. Padahal membekali anak dengan ilmu dan kebiasaan beragama yang baik, adalah bentuk sayang buat anak-anak kita.
Lampu merah, kuning, hijau, emangnya bukan pemaksaan? Itu kan pemaksaan. Lampu merah, kita dipaksa untuk berhenti. Ga boleh kita ga berhenti. Harus berhenti. Lalu misalnya kebetulan perempatan itu perempatan yang indah, lalu kita masih kepengen berlama-lama. Atau ada nomor telepon dari iklan di perempatan lampu merah yang mau dicatat. Ga boleh juga kita masih berhenti kalo lampunya udah berubah hijau. Padahal dikit lagi nih bisa kecatat, tetap engga boleh. Detik itu hijau, detik itu kudu mulai jalan. Pas merah pun gitu. Coba aja lampu merah ditabrak, pasti kecelakaan yang ada.
Kenapa kita dipaksa lalu nurut? Sebab kita tahu itu adalah kebaikan adanya, dan membelakanginya adalah keburukan.
Dalam urusan agama, seringkali kita tidak memaksakan diri. Terlalu memanjakan diri. Di banyak ibadah ini terjadi. Sehingga kalimat tidak membebankan diri sering jadinya tidak memaksimalkan diri. Akhirnya, ibadahnya begitu-begitu saja. Seringkali turun kuantitas dan kualitasnya malah: Shalat malam, ga dipaksakan. Shalat dhuha, ga dipaksakan. Shalat tepat waktu, ga dipaksakan. Berhaji ga dipaksakan. Dan masih banyak lagi. Semuanya ga dipaksakan, padahal bisa.
Shalat malam, kalo emang diniatin, mestilah bangun. Aturlah supaya bisa tidur lebih awal. Olahragalah di malah hari, dengan shalat sunnah yang agak banyak menjelang tidur. Sebagai pengantar tahajjud yang fresh punya. Begitu terbangun, langsung paksa badan bangun dan melangkah mengambil air wudhu. Kalau perlu langsung mandi. Dan bilamana perlu, ambil sajadah kemudian shalatnya di luar rumah; di halaman rumah, di mushalla deket rumah, atau di mana keq sekedar perubahan suasana. Shalat malam beratapkan langit dan bebintangnya, cakep juga buat supaya tidak ngantuk.
Shalat dhuha, bila tidak dipaksakan, ntar ga dhuha-dhuha. Lihat saja diri kita. Ketika kita dulu sekolahnya di sekolah yang tidak memberlakukan dhuha, bertambah-tambahlah tidak ada dhuhanya sama sekali. Dan keadaan ini berlanjut. Sebenernya, ketika kita berada di kantor, bisalah menyempatkan diri sebentar, walo hanya 2 rakaat dhuha. Pergilah ke kantor dalam keadaan berwudhu. Supaya ketika tiba di kantor, kita bisa menegakkan dhuha di samping meja kerja kita. Di warung kita, di toko kita, di sekolah, di kampus, di mana saja kita sempatkan. Waktu mah bagaimana kita. Tentu saja salah besar jika seseorang shalat dhuha sampe 1-2 jam. Kecuali di hari libur, ya tegakkanlah shalat dhuha 2 rakaat dengan bacaan yang pendek. Cukup. Asal istiqamah. Tar sesekali, kita kemudian shalat pol 12 rakaat, yakni manakala sedang libur.
Berhaji. Berhaji jika tidak dipaksakan, wuah, alasan utamanya adalah: Belom ada panggilan. Di saat yang sama belom berhaji, keadaan uang berlimpah. Atau kalaupun tidak berlimpah, bisa lah kira-kira pergi haji kalau maksain. Misalnya, rumah ada. Tapi baru satu. Lah, satu-satunya rumah itu kemudian dijual buat pergi haji. Orang sering menyebut maksain. Tapi saya menyebut maksimalisasi. Emang harus maksain. Masa lebih penting rumah ketimbang nyempurnain Rukun Islam? Duit emang ga punya, tapi mobil punya, ya jual saja mobilnya. Ngontrak rumah sewaan, dan pake mobil sewaan. Insya Allah memaksakan diri seperti ini menjadi ibadah yang subhaanallaah. Ibadah yang dilakukan dengan pengorbanan.
Puasa. Baik puasa wajib atau puasa sunnah. Iddih, ibadah puasa ini, jika tidak memaksakan diri, habislah badan ini jadi manja. Tar malah kelamaan engganya, jadi malah seumur-umur ga biasa dan ga bisa puasa.
Di pesantren Daarul Qur’an, banyak ibadah sunnah awalnya diprotes oleh beberapa walisantri. Ada yang beralasan medis, ada yang beralasan perlahan perlahan, dan satu dua alasan lain. Puasa contohnya, kata satu dua walisantri, anaknya ga terbiasa puasa. Perutnya suka sakit. Alhamdulillah, dengan pengajaran, dan terbangunnya lingkungan, anaknya malah menyuruh orang tuanya puasa. Ga ada tuh yang dikhawatirkan. Kalao khawatir terus, malah kekhawatiran itu yang lebih mengemuka nantinya. Shalat dhuha, sungguhpun ia sunnah, di pesantren jadi amalan wajib. Di awal-awal ada suara, mengapa jadi wajib? Bukankah Rasulullah saja tidak mewajibkan? Saya jawabnya enteng aja, dhuha emang sunnah. Tapi yang jadi masalah, situ sekolahnya di Daarul Qur’an. Dan di Daarul Qur’an dhuha itu wajib. Titik. Mau nurut, apa engga? Kalau engga mau nurut peraturan, ya maaf, keluar aja. He he, maaf ya. Itu bahasa saya memang. Kasar ya? Yah, pegimana niatnya dah.
Sama, urusan dunia juga kalau engga dipaksakan, bakalan malas lah yang ada: Olahraga tuh yang paling kelihatan. Kalau engga dibiasakan dan dipaksakan diri ini berolahraga, sampe kemudian jatuh sakit baru keingetan olahraga. Jam masuk sekolah, kalau tidak dipaksa menjadi peraturan dan tata tertib yang ada sangsinya, niscaya akan berantakanlah kedisiplinan. Semuanya semaunya.
Jadi, tidak semua pemaksaan itu jelek. Pemaksaan itu kadang bagus buat yang dipaksa. Pemaksaan yang dibarengi dengan penyadaran diri, tarbiyyah bahasa agamanya, tentu akan jauh lebih baik lagi. Taatnya bukan karena peraturan. Tapi karena kesadaran.
Sumber : Catatan MAJELIS TAUSIAH PARA KYAI & USTADZ INDONESIA (25 Desember 2009) Borneo
Gabung Yuk di Twitter Yusuf Mansur
#Religi
#Ustadz Yusuf Mansur