Ketika melayat jenazah dua pelaku teror, Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono (Rabu, 12/8/2009), Abu Bakar Baasyir menyebut keduanya sebagai mujahid dan bukan teroris.
Sungguh, sebuah pernyataan yang mengganggu kemanusiaan kita. Baasyir memang dikenal sebagai pejuang formalisasi syariat Islam. Menurutnya, bentuk negara yang dikehendaki (dan diridai) Tuhan adalah negara yang sepenuhnya menegakkan syariat Islam secara formal konstitusional dan bukan (ideologi) ciptaan manusia. Karena itu, dalam banyak kesempatan, Baasyir menyebut pemerintahan Indonesia, termasuk SBY, adalah pemerintahan yang thagut (tiran; model yang dianut Fir'aun), yang zalim, kafir, dan munafik (seperti disebut oleh Surat Al-Baqarah).
Dalam konteks inilah seseorang mesti berjihad; memperjuangkan bentuk negara dengan model konstitusi Islam dan berperang melawan musuh-musuhnya. Semua pelaku teror yang siap meledakkan bom pasti atas nama jihad. Ideologi ini sudah sedemikian mantap menancap dalam pikiran dan keyakinan mereka, karena dalam Islam tak ada pahala yang lebih tinggi dan agung selain berjihad. Seorang mujahid akan menjadi "pengantin" surga, dan surganya pun tidak tanggung-tanggung- surga yang paling tinggi bersama para nabi dan kekasih (awliya) Tuhan.
Benarkah kaum teroris adalah mereka yang berjihad dengan kompensasi pahala tersebut? Kita perlu melihat konsep jihad itu secara utuh. Jika merujuk pada Alquran, kitab suci itu menggunakan dua istilah yang berbeda, tetapi maknanya sering disamakan: jihad dan qital. Jihad berarti perjuangan dalam arti yang umum, sementara qital berarti peperangan. Karena itu harus dipahami jika Alquran menggunakan ayat jihad artinya adalah perjuangan dalam makna yang umum; sementara bila menggunakan ayat qital, artinya sudah khusus peperangan.
Perbedaan dua istilah Alquran itu berpulang pada dua sebab. Pertama, ayat jihad telah turun sejak periode Islam Mekkah, ketika tidak pernah terjadi satu pun peperangan, jihad dalam periode Islam Mekkah adalah jihad nonperang. Sangat mustahil bila jihad pada periode ini dimaknai sebagai peperangan. Jihad yang bukan qital ini bisa kita temukan dalam Surat Al-Furqan ayat 52, An-Nahl ayat 110, Luqman ayat 15, dan Al- Ankabut ayat 69. Adapun ayat-ayat qital hanya turun pada periode Madinah yang penuh dengan gemuruh peperangan.
Kedua, aktivitas perang dalam Alquran memang menggunakan ayat-ayat qital secara jelas, bukan dengan ayat jihad. Surat Al-Hajj ayat 39 menyebutkan telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi. Demikian juga surat Al-Baqarah ayat 190 yang berbunyi dan perangilah (qatiluu) orang-orang yang memerangimu. Nah, ketika ayat-ayat jihad kembali turun pada periode Madinah, tidak terelakkan muncul makna kontekstual waktu sebagai "perang".
Dari sinilah sumber masalah muncul: menyamakan atau menafsirkan ayat jihad dengan ayat qital. Kaum teroris atau mereka yang seideologi selalu mengunci kata jihad dalam konteks peperangan saja. Padahal, menurut Gamal al-Banna-adik bungsu pendiri Ikhwan al-Muslimin: Hasan al-Banna-dalam Al-Jihad, jihad dan qital harus dibedakan secara jelas dan tegas. Jihad tidak identik dengan qital, meskipun qital pada zaman Nabi merupakan salah satu bentuk dari jihad.
Baginya jihad adalah mabda' (prinsip) yang abadi dalam arti dan bentuk yang umum dan seluas-luasnya, sedangkan perang hanyalah medium (washilah), yang tidak prinsipal dan sangat situasional. (Mohamad Guntur Romli, Memaknai Kembali Jihad, 2006).***
Harus diakui, Alquran memang kitab suci yang terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan pengetahuan, pengalaman, kecenderungan dan selera sang penafsir. Namun, harus diyakini pula bahwa kebenaran mutlak/pasti makna ayat-ayat Alquran hanya Tuhan saja yang mengetahui.
Manusia tahu, tapi pengetahuan atau kebenaran pengetahuannya bersifat relatif: bisa salah bisa pula mendekati kebenaran. Kebenaran mutlak milik Tuhan belaka. Karena itu, ulama-ulama tafsir, terutama yang klasik, dengan rendah hati selalu mengakhiri uraian tafsirnya dengan mengatakan wallahu a'lam bish-shawab (Allah yang lebih tahu kebenarannya) atau Allahu a'lam bimuradihi (Allah yang lebih mengetahui maksudnya). Dengan demikian, kita tidak dapat menafsir firman-firman Tuhan dengan natur ketuhanan.
Yang dapat kita lakukan adalah menafsir Tuhan (agama) dengan natur kemanusiaan kita. Fitrah kemanusiaan kita cenderung mendorong kita untuk hidup: untuk membangun, bukan untuk mati; bukan untuk merusak, apalagi membunuh. Ada adagium yang berbunyi, "Senjata tidak membunuh orang, oranglah yang membunuh sesamanya." Pepatah ini mengandung arti, agama bukanlah masalah, tetapi oranglah yang menjadi masalah.
Sama dengan perkataan Ali bin Abi Thalib, "Alquran itu adalah teks yang diam, manusialah yang membunyikannya (dan memberi makna)." Atau pendapat seorang pakar komunikasi modern, "The words can not means but the people mean," kata-kata tidak bisa memberi makna, manusialah yang memberi makna atau menafsirkannya. Karena Tuhan tidak bisa ditanya maksud dari setiap kata-kata sabda-Nya, maka manusialah yang menafsir dan memberi makna.
Karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, agung dan bermartabat, maka interpretasi dan artikulasi atas setiap teks-teks Tuhan dalam kitab suci-Nya mesti dalam konteks menyelamatkan, menghargai dan mencintai manusia, bukan malah menyakiti atau membunuhnya. Mayoritas ulama Islam yang waras dan sehat tetap sepakat bahwa kita tidak sedang dalam keadaan perang fisik atau diperangi secara fisik oleh "orang-orang kafir".
Negeri kita adalah "negeri yang damai" (dar al-salam), bukan negeri Islam (dar al-Islam), tetapi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan hukum positif kita telah sesuai dengan "ruh" atau "substansi" syariat Islam. Karena itu tidak alasan syar'i untuk melakukan qital. Boleh saja kaum teroris mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah perintah dan atas nama Tuhan, tetapi natur keberagamaan kita yang humanis tidak dapat menerima hal itu.
Orang yang melakukan bunuh diri dan membunuh orang adalah pembunuh, bukan mujahid. MUI telah berfatwa bahwa perbuatan mereka terkutuk dan bukan jihad, kematian mereka pun bukan mati syahid. Dalam perspektif makna jihad yang humanis, Quraish Shihab menegaskan bahwa memberantas kebodohan, kemiskinan, korupsi, dan penyakit adalah jihad yang tak kurang pentingnya daripada mengangkat senjata. Dulu, ketika kemerdekaan belum diraih, jihad mengakibatkan terenggutnya jiwa, hilangnya harta benda, dan terurainya kesedihan dan air mata.
Kini, jihad harus membuahkan terpeliharanya jiwa, terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab, melebarnya senyum dan terhapusnya air mata, serta berkembangnya harta benda (Shihab, Wawasan Alquran, 1996). Singkat kata, untuk dunia kita saat ini jihad berarti menghidupi dan membangun, bukan membunuh atau merusak.
Hal yang tak kalah penting, jihad juga berarti mengekang hawa nafsu, yang dalam pengertian spesifiknya adalah melakukan ibadah puasa seperti yang akan kita jalani sebentar lagi. Waallahu a'lam bishshawab.(*)
Media Zainul Bahri
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
#Teroris