Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah - Kajian Islam Tarakan
Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah

oleh Abdul Wahab Ahmad

Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa Allah Mahabesar. Kemahabesaran Allah diucapkan berkali-kali dalam sehari dengan bacaan “Allahu Akbar” yang menunjukkan ikrar bahwa tak ada yang lebih besar dari Allah. Tapi bagaimanakah kemahabesaran ini harus dimaknai?

Salah satu kaidah dalam membahas sifat Allah adalah larangan membahasnya seperti membahas tentang materi (jism). Kemahabesaran Allah adalah salah satu sifat Allah yang mutlak dimiliki-Nya tanpa bisa diukur dengan perbandingan rasio dengan makhluk mana pun. Allah sudah Mahabesar sejak waktu belum berjalan dan sejak seluruh alam tercipta, tetap Mahabesar saat makhluk-makhluk tercipta dan tetap Mahabesar hingga kapanpun. Kemahabesaran Allah tidak boleh dimaknai sebagai ukuran fisik sebagaimana kita memaknai seluruh hal di jagat raya ini yang semuanya serba materi.

Bila kita membahas besarnya materi, maka suatu materi dibilang besar ketika ukurannya lebih banyak menghabiskan ruang dibanding materi lain. Dari sinilah muncul rasio perbandingan antara besarnya materi yang satu dengan materi yang lain. Kita bisa membandingkan rasio antara besarnya mikroba dengan besarnya manusia, antara manusia dan planet bumi, antara planet bumi dengan sistem tata surya, antara sistem tata surya dengan galaksi, antara ini dan itu. Demikianlah cara kita membahas kebesaran seluruh materi di dunia ini; seluruhnya dari perspektif ukuran fisikal atau volume.

Namun apa mulianya besar dalam arti ukuran fisik? Bukankah semua ukuran itu merupakan batasan? Pertanyaan ini esensial untuk ditanyakan ketika membahas soal "besar". Kita tahu bahwa besar secara fisik tak lebih dari sekedar volume saja tanpa ada kemuliaannya, apalagi hak untuk disembah. Kalau sesuatu berhak diagungkan dan disembah hanya karena ukurannya yang besar, maka tentu mikroba dibenarkan untuk menyembah manusia; Manusia juga dibenarkan ketika menyembah matahari dan bintang-bintang sebab hal itu memang jauh lebih besar atau dengan kata lain Mahabesar “rasio ukurannya” dibanding manusia. Tapi sayangnya, semua ini salah mutlak menurut Al-Qur'an dan Hadits yang memvonis penyembah segala yang ukurannya besar itu sebagai sesat. Sebesar apapun sebuah entitas fisik (jism), ia tetaplah terbatas dan ada ujungnya.

Bila kita memaknai kebesaran Tuhan dengan perspektif material ini, maka sama saja kita mengatakan bahwa Allah punya batasan ukuran dari ujung ke ujung. Kalau Allah punya batasan ukuran lalu siapa yang membatasi ukurannya atau yang mendesainnya seperti itu? Bila yang membatasi ukurannya adalah entitas lain berarti Allah punya sekutu, bahkan punya Tuhan yang membentuknya. Bila yang membatasi adalah diri-Nya sendiri maka berarti Allah berevolusi. Bila berevolusi berarti pastilah bukan Tuhan. Ini bukanlah pertanyaan mengada-ada, melainkan pertanyaan naluriah seperti yang diajarkan al-Qur’an agar kaum muslimin kritis terhadap berbagai objek sesembahan.

Ibnu Mandhur, seorang pakar bahasa terkemuka dalam kitab Lisân al-‘Arab-nya mengartikan batasan fisik (hadd) sebagai berikut:

وَمُنْتَهَى كُلِّ شَيْءٍ: حَدُّه

"Ujung segala sesuatu adalah hadd/batasannya". (Ibnu Mandhur, Lisân al-‘Arab, juz III, 140)

Lantas kalau demikian pengertiannya, apakah Allah punya batasan fisik? Ahlusussunnah Wal Jama'ah sepakat mengatakan: Tidak!. Imam Ahmad, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Abu Fadl at-Tamimi yang menjadi salah satu Imam Hanabilah di masanya, yang berkata:

والله تعالى لا يلحقه تغير ولا تبدل ولا تلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش ، وكان ينكر- الإمام أحمد – على من يقول إن الله في كل مكان بذاته لأن الأمكنة كلها محدودة.

Allah Ta'ala tak mengalami perubahan dan pergantian. Juga tak mempunyai batasan-batasan fisik sebelum terciptanya Arasy dan tidak juga setelah terciptanya Arasy. Imam ahmad juga mengingkari orang yang berkata bahwa Dzat Allah ada di segala tempat sebab semua tempat adalah terbatas ukuran". (Abu Fadl at-Tamimi, I’tiqâd Imâm Ahmad, 41)

Senada dengan itu, Imam at-Thahawi ini yang merupakan rujukan standar Ulama Asy'ariyah (Ahlussunnah Wal Jamaah) juga menegaskan:

وتعالى عن الحدود والغايات ، والأركان والأعضاء والأدوات ، لا تحويه الجهات كسائر المبتدعات

"Maha suci Allah dari adanya batasan-batasan ukuran dan ujung-ujung, juga dari adanya unsur-unsur dan anggota badan. Dia tak diliputi berbagai arah seperti halnya seluruh hal yang baru". (at-Thahawi, Matn al-‘Aqîdah at-Thahâwiyah)

Banyak sekali para ulama yang juga menafikan adanya batasan fisik, baik besar atau kecil, atas Allah. Di antara mereka ada Imam ar-Razi, al-Baji, Ibnul Arabi, Ibnul Jauzi, al-Qurthuby, al-Baidhawi, an-Nawawi dan lain-lain yang merupakan rujukan umat.

Lalu apabila kemahabesaran Allah tidak bisa dipahami dalam perspektif ukuran fisik yang pasti terbatas, lalu bagaimana Ahlussunnah memahaminya? Berikut penjelasan Imam al-Ghazali dalam al-Maqshad al-Asna tentang makna sifat al-Kabir:

الْكَبِير هُوَ ذُو الْكِبْرِيَاء والكبرياء عبارَة عَن كَمَال الذَّات وأعني بِكَمَال الذَّات كَمَال الْوُجُود

"Al-Kabîr (Mahabesar) maksudnya adalah yang mempunyai keagungan (kibriya'). Keagungan sendiri adalah ungkapan bagi kesempurnaan dzat. Yang saya maksud kesempurnaan Dzat adalah kesempurnaan eksistensi". (Imam al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnâ, 109)

Kesempurnaan Dzat atau eksistensi sebagaimana diterangkan oleh Imam al-Ghazali itu mencakup dua pengertian sebagai berikut:

a. Al-Kabîr dalam arti sudah lama ada. Dalam konteks manusia, mereka disebut kabîr ketika wujudnya sudah ada lama atau dengan kata lain sudah tua. Dalam makna inilah istilah "syaikhun kabîr" dalam al-Qur'an 28:23, maksudnya adalah orang yang sudah tua. Adapun ketika membahas Allah, maka makna ini berarti setara dengan sifat al-Qadîm atau al-Awwal, yakni keberadaan-Nya jauh sekali sudah ada sebelum semua keberadaan yang lain sebab keberadaan Allah memang tidak punya awal mula. Dalam makna ini, Allah jelas adalah Akbar (paling kabîr) dari semua hal di jagat ini, dalam artian paling lama keberadaannya.

b. Al-Kabîr dalam arti hebat. Istilah ini dipakai dalam peristilahan berbagai bahasa di dunia. Istilah "orang besar" dalam bahasa indonesia maksudnya adalah orang hebat. Demikian juga dengan istilah "big boss" dalam bahasa Inggris. Makna ini juga yang dimaksud oleh QS. Yusuf:80, yang mana kata "kabîruhum" di sana bukan berarti paling besar fisiknya atau yang paling tua umurnya, tetapi paling hebat ilmu dan akalnya. Besar di dalam makna ini sama sekali tak ada kaitannya dengan ukuran fisik. Dalam makna ini, sudah jelas bahwa Allah adalah yang Akbar (paling Kabîr) dari semua hal yang ada, dalam artian paling hebat dan paling berkuasa.

Demikianlah makna kemahabesaran Allah dalam perspektif Aswaja. Berbeda dengan orang-orang yang memaknai kata besar secara fisik, makna ini sekali tak punya cacat, baik secara nash, secara bahasa atau secara akal. Wallahu a’lam

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember

Sumber Web : https://islam.nu.or.id/post/read/94874/makna-kemahabesaran-allah-menurut-ahlussunnah-wal-jamaah (Sabtu 25 Agustus 2018 17:00 WIB)

Kajian Sunnah

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Makna Kemahabesaran Allah Menurut Ahlussunnah wal Jama’ah". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait