Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa

29. Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa

MARHABAN YA RAMADHAN

9 Ramadhan 1442 H - 21 April 2021

Oleh: Isnan Ansory

Pada dasarnya, puasa yang sedang dikerjakan akan batal apabila seseorang kehilangan sebagian dari rukun puasa atau syarat sahnya puasa. 

Sebagaimana diketahui bahwa di antara syarat sah puasa adalah: (1) Beragama Islam, (2) Berakal, (3) Suci dari haid atau nifas, dan (4) Berpuasa pada hari yang disyariatkan atau dibolehkan untuk berpuasa.

Namun dari keempat syarat sah puasa tersebut, yang terkait dengan pembatal puasa Ramadhan hanyalah syarat islam dan suci dari haid atau nifas saja. Di mana jika seseorang dalam kondisi berpuasa, lalu ia murtad atau mendapati haid dan nifas, maka puasa yang sudah dilakukan otomatis menjadi batal.

Sedangkan untuk akal, maka hal ini hanya menjadi syarat atas sahnya puasa jika tidak dalam kondisi waras pada keseluruhan waktu puasa. Karenanya, jika seseorang telah memulai puasa dalam kondisi waras, lalu ia menjadi gila atau pingsan, maka puasa pada hari itu tetap dinilai sah.

Adapun syarat sah puasa terkait hari berpuasa, maka hal inipun pada dasarnya bukanlah pembatal puasa. Sebab puasa yang dilakukan di hari terlarang, memang tidak sah untuk dilakukan dari sejak memulai puasa.

Kesimpulannya, pembatal puasa yang terkait dengan syarat sah puasa, sebatas pada syarat keislaman dan suci dari haid atau nifas saja. Berikut ini penjelasan tentang pembatal puasa yang terkait dengan kedua syarat sah tersebut.

1) Murtad Dari Islam

Pada dasarnya, puasa yang dilakukan oleh non muslim atau orang kafir tidaklah dinilai sah. Sebab di antara syarat sah puasa adalah beragama Islam.  Dan di antara bentuk kekafiran adalah ketika seseorang murtad dari agama Islam - wal ‘iyaadzu billah min dzalik -.

Ketentuan ini didasarkan kepada ayat berikut:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا (الفرقان: 23)

Dan kami hadapkan segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (QS. Al-Furqan: 23) 

Atas dasar ini, para ulama bersepakat bahwa jika ada orang Islam yang berpuasa, lalu keluar dari agama Islam (murtad), maka otomatis puasanya pun batal. Seandainya setelah murtad, pada hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya tetaplah batal, dan wajib mengqodho’ puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum. 

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(1) 

لَوْ حَاضَتْ فِي بَعْضِ النَّهَارِ أَوْ ارْتَدَّ بَطَلَ صَوْمُهُمَا بِلَا خِلَافٍ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ.

Semua ulama sepakat bahwa jika seseorang mendapati haid pada siang hari saat berpuasa, atau menjadi murtad, maka batallah puasanya, dan wajib atas mereka mengqodho’nya.

Adapun dasar bahwa kemurtadan termasuk pembatal puasa adalah ayat berikut ini:

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (الزمر: 65)

Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi. (QS. Az-Zumar: 65) 

3) Mendapat Haid atau Nifas

Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba mendapat haid atau nifas, maka otomatis puasanya batal. Meski kejadian itu menjelang terbenamnya matahari.

Di samping itu, disunnahkan atasnya melakukan imsak pada waktu puasa yang tersisa. Dan diwajibkan untuk mengqodho’nya di hari yang lain. 

Imam Ibnu Juzai al-Maliki (w. 741 H) berkata dalam kitabnya, al-Qawanin al-Fiqhiyyah:(2) 

إِذا حَاضَت الْمَرْأَة فِي بعض النَّهَار فسد صَومهَا ولزمها الْقَضَاء.

Jika wanita mendapati haid di siang hari Ramadhan, maka batallah puasanya dan wajib atasnya mengqodho’ puasa tersebut.

Imam an-Nawawi (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:(3) 

لَوْ حَاضَتْ فِي بَعْضِ النَّهَارِ أَوْ ارْتَدَّ بَطَلَ صَوْمُهُمَا بِلَا خِلَافٍ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ.

Semua ulama sepakat bahwa jika seseorang mendapati haid pada siang hari saat berpuasa, atau menjadi murtad, maka batallah puasanya, dan wajib atas mereka mengqodho’nya.

Dasar dari pembatal ini adalah hadits berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا» (متفق عليه)

Dari Abu Said - radhiyallahu ‘anhu -: Rasulullah - shallallahu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bukankah bila wanita mendapat haid, dia tidak boleh shalat dan puasa?. Inilah maksud setengah agamanya.” (HR. Bukhari Muslim)

-------------------------

(1) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/347.

(2) Ibnu Juzai al-Kalbi al-Maliki, al-Qawanin al-Fiqhiyah, hlm. 77.

(3) Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, hlm. 6/347.

Sumber FB Ustadz : Isnan Ansory MA

21 April 2021

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Pembatal Puasa : Batalnya Syarat Sah Puasa". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait