Pertanyaan Menakutkan, Jawaban Mengagetkan
Sebagai penulis yang sering membahas tema perbedaan pendapat di antara ulama, saya sering banget diberi pertanyaan menakut-nakuti, semisal "Apa kamu berani bertanggung jawab di akhirat?". Yang tanya seperti itu biasanya kaget mendengar jawaban saya sehingga berhenti meneruskan. Kira-kira begini cara saya menjawabnya:
- Apa kamu berani bertanggung jawab di akhirat?
+ Tentu berani.
- Apa kamu yakin amalmu sendiri diterima nanti?
+ Tentu yakin.
- Apa kamu bisa menjamin bahwa ucapanmu tidak berefek negatif?
+ Ya, bisa menjamin.
Mungkin yang dengar jawaban semacam itu jadi muak, kok kepedean banget makhluk ini. Hahaha.. Kali ini akan saya jelaskan kenapa saya sering menjawab ketus seperti itu dan apa landasannya.
Pertama: Yang bertanya seperti itu biasanya orang kehabisan dalil. Mau berdalil menyalah-nyalahkan tidak mampu lagi, akhirnya cuma bisa menggertak begitu. Yang sering membaca tulisan-tulisan saya pasti tahu betul karakter saya paling tidak suka pada orang yang mudah menyalah-nyalahkan atau mengharam-haramkan padahal tidak sesederhana itu. Karena cuma gertakan orang kehabisan dalil, maka santai saja. Lain cerita kalau yang bilang adalah guru kita yang betul-betul niatnya memberi nasehat.
Kedua: Pertanyaan semacam itu sebenarnya tak bermakna, hanya dibuat agar lawan menjadi ragu atau takut saja. Kita kupas satu persatu:
Pertanyaan apakah berani bertanggung jawab di akhirat adalah pertanyaan percuma. Kalau kita tidak melanggar apa pun atau berpegang ada pendapat ulama yang jelas kredibel, tentu tidak perlu ada yang perlu dikhawatirkan meskipun berbeda dari pendapat orang-orang yang seolah jadi juru kunci surga neraka. Lagian, di akhirat nanti, mau bilang berani atau tidak sama saja tak berguna. Tidak relevan membahas keberanian di sana sebab akhirat negeri balasan, bukan bukan lagi negeri usaha. Yang dituntut bertanggung jawab juga bukan hanya saya dengan pemikiran yang saya yakini, dia yang bertanya juga dituntut bertanggung jawab dengan pemikirannya, bahkan semua orang bertanggung jawab atas setiap detail yang ia kerjakan. Suudzonnya dalam setiap komen, vonis buruknya terhadap orang lain, bermudahannya dalam mengharamkan, dan segalanya nanti juga butuh pertanggung jawaban. Lalu bagaimana bisa ada yang bertanya seolah-olah dia di posisi aman dari tanggung jawab di akhirat sehingga seolah cuma kita yang diancam pertanggungjawaban?
Pertanyaan apakah yakin amal kita diterima juga pertanyaan yang cukup aneh. Dalam beribadah, kita memang dituntut agar meyakini agar amal ibadah kita diterima. Kalau belum yakin, maka artinya ada yang salah dan harus diulangi. Misalnya ibadah shalat, harus yakin sudah berwudhu dengan sah, yakin sudah masuk waktu shalat, yakin sudah lengkap rukun-rukun shalat dan yakin tidak melakukan hal yang membatalkan shalat. Semua itu agar yakin diterima sebab kita tahu Allah tidak akan melanggar janji-Nya bahwa semua amal baik akan diberi pahala. Tapi soal Allah memberi nilai pahala berapa nanti berdasar kualitas ibadah kita, itu urusan lain. Sama seperti saat berdoa harus yakin dikabulkan sebagaimana janji Allah. Soal bagaimana cara Allah mengabulkannya, apakah persis seperti permintaan kita atau dalam bentuk lain, apakah cepat atau lambat, itu urusan lain. Yang penting kita yakin dulu. Dalam bahasa tasawuf, keyakinan menimbulkan harapan (raja') sedangkan ketidaktahuan kita pada nilai akhir menimbulkan cemas (khouf). Gabungan harapan dan kecemasan ini penting sekali.
Pertanyaan apakah bisa menjamin bahwa ucapan kita tidak berefek negatif sedikit berbeda dari dua pertanyaan lain. Ini terkait dengan bagaimana ucapan yang kita lontarkan. Kalau batasannya tidak jelas maka memang sulit memberi jaminan. Tetapi saya sebisa mungkin memberi batasan-batasan yang jelas dalam tulisan saya yang sebelum diposting telah dibaca berulang-ulang sehingga saya berani memberi jaminan. Kalau ada yang melanggar batas, itu bukan karena tulisan saya tetapi karena orangnya sendiri. Misal soal upload foto dalam status sebelumnya, batasan kebolehan yang saya ucapkan adalah tidak menunjukkan aurat, sopan, wajar dan tidak provokatif. Selama batasan ini dijaga, saya jamin tidak akan ada efek negatif apa pun dari sebuah foto yang diupload. Kalau ada yang melanggar batasan, maka itu bukan karena tulisan saya tetapi karena nafsunya sendiri. Sama seperti orang yang pesta mabuk-mabukan lalu bawa-bawa nama Imam Abu Hanifah, yang dosa adalah orang yang mabuk tersebut sedangkan imam Abu Hanifah tak bisa dituntut sebab batasan pendapat beliau jelas dilanggar (Lihat tulisan saya tentang khamar menurut Hanafiyah).
Oke, begitu ceritanya.
Sumber FB : Abdul Wahab Ahmad
Islam · 7 Maret 2021 pada 08.43 ·