Menakar Sebuah Kritik

Menakar Sebuah Kritik - Kajian Islam Tarakan

MENAKAR SEBUAH KRITIK

Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Kritik itu sebuah keniscayaan dalam roda kehidupan ini. Syarat untuk menerima kritik hanya satu, yaitu hidup. Untuk mendapat lebih banyak lagi kritik, maka cukup dengan bergerak dan berbicara. Kalau mau lebih banyak lagi, maka buatlah event atau karya. Dengan ini, maka banyak umat manusia yang seolah secara otomatis tergerak untuk mengeluarkan kritik.

Biasanya orang akan membagi kritik menjadi dua, yakni kritik membangun dan kritik menghancurkan. Saat ini saya mencoba mengambil perspektif berbeda dari itu sebab batas antara "membangun dan menghancurkan" itu murni subjektif. Kalau enak didengar telinga yang dikritik, maka lumrahnya akan dilabeli sebagai kritik membangun. Kalau tak enak di telinganya, maka akan langsung dicap sebagai kritik menghancurkan. Jadi niat pelaku kritik sebenarnya bukan hal yang betul-betul diperhitungkan bagi penerima kritik.

Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa kritik ada yang bermutu dan ada yang tak bermutu. Sekali lagi, saya takkan membahas enak atau tak enak didengar, disebut membangun atau menjatuhkan, caranya dianggap elegan atau tidak, sebab itu semua murni subjektif. Tapi kalau kita bicara mutu, maka relatif lebih bisa objektif.

Mutu sebuah kritik bisa dilihat dari dua hal: 

1. Sejauh mana relevansi kritik itu dengan realitas.

2. Sejauh mana kritik itu mampu memecahkan masalah. 

Poin pertama; sebuah kritik kadang tak betul-betul relevan dengan realitas masalah. Misalnya, mengkritik orang pesisir karena logat bicaranya cenderung keras atau mengkritik perempuan karena cenderung emosional. Kritik semacam ini muncul seolah dari makhluk planet lain yang tak tahu menahu tentang realita. Dari dulu memang penduduk pesisir denderung lebih keras daripada yang hidup di perkotaan. Demikian pula perempuan memang cenderung lebih emosional dari laki-laki. Hal ini tidak selalu negatif dan sebenarnya bukan hal yang musti dipermasalahkan. Orang yang hebat akan menjadikan perbedaan karakter ini sebagai warna-warni yang harus dimanage dengan baik hingga menjadi sebuah guratan indah di masa depan.

Beberapa kali saya diminta pendapat soal beberapa nama yang karakternya keras. Saya bilang kalau orang seperti itu perlu ada, tinggal bagaimana kita memberikan kontrol saja supaya tak kebablasan. Demikian juga dengan orang yang santun adem ayem menghadapi segala problema yang selalu memilih posisi aman, mereka itu perlu ada tapi perlu dikontrol supaya jangan kebablasan. Kalau yang keras kebablasan itu bahaya sebab punya nilai merusak. Kalau yang kalem kebablasan itu juga bahaya sebab akan membuat orang mlempem. Yang minta pendapat biasanya agak kecewa sebab saya tak mau larut dalam kehebohannya mengkritik.

Poin kedua; kadang sebuah kritik dimunculkan tanpa bisa memecahkan masalah yang ada sebab memang tak berdasar pengetahuan yang memadai tentang apa yang dikritik. Akhirnya hanya menambah masalah dengan kehebohan yang tak perlu, alih-alih memecahkannya. Jenis ini rasanya tak perlu contoh sebab pasti sudah dialami tiap orang.

Ada lagi kritik yang mememenuhi dua kriteria di atas. Ada yang relevan dengan masalah dan sekaligus mampu memecahkan masalah, misalnya kritik seorang guru terhadap kesalahan muridnya dalam mengerjakan tugas. Guru itu menyebutkan kesalahan muridnya di mana, kenapa dia bisa salah, dan bagaimana caranya supaya benar. Inilah yang kita sebut kritik berkualitas. Nyambung dan solutif.

Ada juga yang tak nyambung sekaligus tak solutif. Jenis ini adalah kritik yang tak bermutu, sepanjang apapun analisisnya.  Contoh paling mudah dari kritik jenis ini adalah kritik dengan argumen "Kenapa tidak?". Sudah ada sesuatu yang bagus, tapi bukannya dihargai atau dikritik dengan mengungkapkan sisi lemahnya yang bisa ditambal tetapi malah dikritik habis sebab "tidak begini dan tak begitu". Misalnya:

 1. Ada komunitas agama yang bergerak aktif merespon isu agama. Dikritik bukan karena respon mereka, tetapi karena komunitas itu tak membahas masalah kemiskinan, korupsi dan isu populis lainnya. Ini tak nyambung sekaligus tak memecahkan masalah. Kalaupun orang ahli agama membahas itu semua memangnya akan mendalam analisisnya seperti orang sosial? Tentu tidak. Lebih baik mereka fokus pada bidangnya masing-masing dan menyerahkan bidang lain pada ahlinya.

 2. Ada komunitas sosial yang bergerak aktif merespon isu kemiskinan. Mereka sudah memberi banyak bantuan dan penyuluhan dalam isu ini, tapi dikritik karena tidak memberikan penguatan akidah atau agama. Ini tak nyambung dan tak mutu.

Kritik semacam ini kerap kali kita dapati bagi mereka yang sukses di bidang yang menjadi spesialisasinya. Mereka dikritik bukan karena kurang hebat dalam bidangnya tetapi dikritik karena sesuatu yang di luar jangkauan mereka sebagai manusia biasa. Ini sama seperti mengkritik dokter gigi karena tak pernah sekalipun memeriksa mata pasiennya padahal mata itu penting. Sama seperti orang yang mengkritik ikan karena tak bisa jalan di darat dan mengkritik burung karena tak bisa berenang.  Semua ada bidangnya dan ada keterbatasannya. Orang yang tak bisa melihat bidang dan keterbatasan orang lain ini adalah orang yang buta terhadap realitas, termasuk realitas dirinya sendiri yang biasanya di bawah mereka yang dikritiknya membabi-buta sebab tak sempurna.

Semoga bermanfaat.

Sumber FB : Abdul Wahab Ahmad

Kajian · 21 Maret 2018  · 

©Terima kasih telah membaca Blog Ardiz Borneo dengan judul "Menakar Sebuah Kritik". Semoga betah di Blog Ardiz Borneo®

Artikel Terkait