Melihat Foto Wanita yang Mengumbar Aurat
Melihat foto wanita yang mengumbar aurat atau telanjang, secara hukum asal adalah tidak terlarang. Hukum asal maksudnya hukum yang tidak melihat 'awaridh (konteks lain) yang mempengaruhi hukum asal. Hukum ini bisa berubah haram apabila dibarengi dengan nafsu syahwat, birahi, atau fitnah. Tentu sulit menghindari syahwat bagi laki-laki normal jika foto tersebut telanjang.
Sementara ulama' kontemporer yang mengharamkan mutlak, tanpa memerinci seperti diatas, hukum melihat foto wanita yang potensial menimbulkan syahwat adalah karena berangkat dari kaidah usul "sadd-ur-dzari'ah" (istilah yang digunakan dalam kitab usul fikih) atau "hasman lil bab" (istilah yang digunakan dalam kitab fikih).
Jadi, ulama' yang menyusun argumentasi secara terperinci sebagaimana narasi pertama sebenarnya tidak salah. Dan ulama' yang secara absolut mengharamkan juga tidak bisa dianggap berlawanan dengan narasi hukum yang pertama. Dan bagi saya pribadi, cara pandang seperti ini adalah hal lumrah dan wajar dalam kajian fikih.
Memang untuk menyampaikan hukum kepada khalayak awam yang tepat adalah hukum yang kedua (haram mutlak), walaupun secara tafsil fikih tampak kurang tahqiq. Sementara jika menggunakan tafsil hukum seperti yang pertama, takutnya disalah fahami. Hal ini mirip dengan tingkat kesulitan merumuskan hasil bahts-ul-masail yang kebetulan keputusannya harus diperinci, walaupun tidak semua.
Misalnya, sebagaimana cerita yang sampai kepada saya, dulu ketika para kyai memutuskan hukum (tafsil) SDSB antara haram dan boleh, mereka dibuat sedikit dilematis. Jika didahulukan hukum "boleh apabila bla bla" takutnya orang awam memahami NU menghalalkan SDSB, padahal hukumnya tafsil (diperinci). Akhirnya para kyai mendahulukan diksi haram, yaitu "haram apabila bla bla".
Inilah pentingnya menyusun narasi hukum fikih yang tepat agar tidak menjadikan salah faham, khususnya masyarakat awam.
Wallahu A'lam.
Sumber FB : Hidayat Nur
Kajian · 7 Maret 2021 pada 07.07 ·